Ads

Wednesday, September 5, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 061

◄◄◄◄ Kembali

”Plak!”

Tangan si jangkung tidak terpental oleh tangkisan Han Sin, malahan menempel seperti mengandung perekat yang kuat. Han Sin terkejut juga, mereka berdua berkutetan mengadu tenaga, akhirnya si jangkung terpelanting dan bergulingan sampai empat lima meter ketika Han Sin mengerahkan tenaga melemparkannya!

Orang-orang kepercayaan Bhok Kian Teng maju mengeroyok. Akan tetapi Han Sin meloncat tinggi, sekali jambret sudah berhasil melemparkan seorang penunggang kuda dan tubuhnya sendiri turun di punggung kuda itu.

”Pangeran Galdan, terima kasih atas pemberian kuda ini!” kata Han Sin yang cepat membedal kudanya dari situ. Di dekat tempat persembunyian Hoa-ji ia berseru. ”Kau loncatlah di belakangku!”

Hoa-ji memang sudah bersiap-siap. Begitu kuda itu lewat ia meloncat dan tepat sekali ia duduk di belakang tubuh Han Sin. Ia memeluk pinggang kakaknya dan kuda besar itu dibalapkan oleh Han Sin cepat sekali. Dari belakang, si jangkung mencoba untuk mengejar, akan tetapi betapapun panjang kakinya, sukar juga mengejar kuda yang dapat berlari demikian cepatnya. Apalagi ia memang agak jerih menghadapi pemuda yang demikian lihainya itu.

"Sin-ko kita mau pergi ke manakah? Apakah hendak kembali ke Min-san?" tanya Hoa-ji setelah mereka berdua selamat melarikan diri dari kejaran Bhok Kian Teng dan kaki tangannya.

Han Sin menjalankan kudanya perlahan, mereka sudah tiba di perbatasan. "Adikku, terus terang saja, sebelum aku dapat membuka rahasiamu dan mendapatkan bukti bahwa kau adalah adik kandungku sendiri, aku memang sudah berjanji pada orang untuk membawa Hoa-ji ke selatan, untuk menyelamatkan atau merampas dirinya dari lingkungan Pangeran Galdan. Apakah kau dapat menerka siapa orang yang kuberi janji itu?"

Muka yang cantik itu menjadi merah sekali, akan tetapi Hoa-ji menggeleng kepalanya.

"Aku mana bisa menerka? Siapa dia?"

Han Sin menghentikan kudanya, meloncat turun sambil menarik tangan Hoa-ji. Dengan kedua tangan adiknya dipegang, pemuda ini menatap wajah Hoa-ji dengan tajam lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh,

"Adikku, banyak sekali hal-hal yang harus kujelaskan kepadamu. Setelah kita saling bertemu sebagai saudara kandung, tak perlu ada rahasia lagi di antara kita. Kau sudah mendengar tadi ceritaku tentang keadaanmu semenjak kecil, ditukar-tukar oleh Ang-jiu Toanio, kemudian anak Ang-jiu Toanio ditukar pula oleh Balita puteri Hui. Yang selama ini mengaku dan kuaku pula menjadi adikku bernama Cia Bi Eng, sebetulnya adalah anak Balita! Aku sudah lama tahu akan hal ini."

Sampai di sini dia menarik napas panjang dan wajahnya muram. Teringat ia akan sikap Bi Eng beberapa hari yang lalu, hatinya kecewa dan amat gelisah. Sampai sekarang masih belum tahu dia apa yang menyebabkan Bi Eng bersikap seaneh itu.

"Bi Eng ......"

"Sin-ko, lebih baik kau menyebut Hoa-ji padaku. Nama itu kupakai semenjak kecil dan rasanya tidak enak kalau tiba tiba diganti nama baru. Pula, bukankah nama Bi Eng sudah dipakai orang lain?" bantah Hoa-ji dengan sikap manja.

Han Sin tertawa. Memang cocok dengan kehendak hatinya. Rasanya iapun akan merasa kecewa dan janggal kalau harus memanggil Bi Eng dengan sebutan nama lain, apa lagi kalau harus memanggil Bi Eng dengan nama barunya, Tilana! Nama Tilana ini hanya akan mengingatkan dia akan pengalamannya yang amat ruwet dan tidak menyenangkan dengan gadis anak Ang-jiu Toanio itu!

"BAIKLAH, Hoa-moi (adik Hoa). Terus terang tadi kukatakan bahwa ada orang yang menyuruh aku menyelamatkan engkau dan membawa engkau ke kota raja. Karena kau tidak mau mengaku, biarlah kukatakan bahwa orang itu adalah Pangeran Yong Tee ...."

"Ahhh ....."

Hoa-ji mengeluarkan seruan perlahan, wajahnya menjadi makin merah dan ia membuang muka, tak berani menentang pandang mata kakaknya. Bibir yang manis itu tersenyum-­senyum, akan tetapi matanya ditundukkan, nampak malu sekali.

Han Sin memegang pundak adiknya. "Hoa-moi, kau tak perlu takut, atau malu-malu. Aku sudah tahu, atau sedikitnya sudah menduga. Pangeran Yong Tee sudah bercerita secara terus terang bahwa ada hubungan kasih antara kau dan dia. Hanya yang amat mengherankan hatiku, bagaimana dia bisa jatuh hati kepada seorang gadis yang selalu berkedok seperti engkau ini. Benar-benar hebat ..."

Hoa-ji mencubit lengan kakaknya. "Sin-ko, jangan kau menggoda ....."

Han Sin tertawa senang. Sedikit banyak, ada persamaan antara Hoa-ji ini dengan Bi Eng. Akan tetapi tiba-tiba suaranya menghilang karena ia teringat akan keadaan ini yang sebetulnya amat bertentangan dengan hatinya. Hoa-ji adalah adiknya, adik kandungnya. Bagaimana bisa berkasih-­kasihan dengan Pangeran Mancu, musuh besar bangsanya? Hoa-ji agaknya merasa akan perubahan ini dan matanya yang bening kini menatap wajah Han Sin menyelidik.

"Hoa-moi, kau sekarang mengetahui bahwa kau dan aku adalah anak dari mendiang Cia Sun, seorang patriot sejati yang sudah mendapat nama besar di dunia, terkenal sebagai seorang pahlawan rakyat yang tidak segan-segan mengorbankan apa saja demi nusa dan bangsa. Aku sama sekali tidak dapat menyalahkan kau yang semenjak kecil dipelihara dan dididik oleh Hoa Hoa Cinjin, yang kemudian menghambakan diri kepada penjajah. Akan tetapi ..... setelah sekarang kau bertemu dengan aku, setelah sekarang kau tahu bahwa kau adalah puteri seorang patriot bangsa, sudah tentu sekali kau harus merobah keadaan hidupmu. Kita harus melanjutkan cita-cita ayah. Tentu saja tidak tepat kalau kau membantu Bangsa Mongol yang dulu dimusuhi ayah. Pula amat tidak tepat kalau kita membantu Bangsa Mancu yang menjajah tanah air ...." Han Sin melihat perubahan pada wajah adiknya, menjadi pucat ketika ia menyebut kalimat terakhir ini. Ia dapat menyelami jiwa adiknya, akan tetapi apa boleh buat, demi kebaikan adiknya sendiri, ia harus berterus terang.

"Hoa-moi, kuatkan hatimu. Aku tahu bahwa antara kau dan Pangeran Yong Tee ada ikatan kasih. Akan tetapi .... dia seorang pangeran Mancu! Pangeran dari bangsa yang menjajah tanah air kita! Kalau saja dia bukan pangeran, mungkin lain lagi soalnya. Tapi dia pangeran, seorang yang berpengaruh pula di istana, yang aktif mengatur pemerintah Mancu. Pula .... dia mengenalmu dan cinta kepadamu sewaktu kau masih berkedok. Dia belum pernah melihat wajahmu, bagaimana dia bisa menyatakan cinta? Aku tidak percaya akan cinta yang demikian itu!"

"Sin-ko ….!” Dalam jerit tertahan ini terkandung isak.

Han Sin menepuk-nepuk pundak adiknya.

"Aku percaya akan kemurnian cintamu terhadapnya, adikku. Dan ..... terus terang saja akupun agaknya tidak meragukan kejujuran hati pangeran itu. Hanya ... dia Pangeran Mancu, Hoa-moi dan ini harus kau ingat baik-baik. Bagaimanakah roh ayah dapat tenteram di alam baka kalau melihat puterinya ... berdampingan dengan musuh bangsa....?"

"Sin-ko ...., kau menghancurkan hatiku ...." Gadis itu mengeluh.

Han Sin menarik napas panjang. Tentu saja ia dapat merasai kehancuran hati adiknya. Memang berat menjadi korban cinta kalau gagal di tengah jalan. Akan tetapi Hoa-ji adalah adik kandungnya, untuk mengingatkan, untuk mencegah penyelewengan yang tak disadari.

"Mari kita lanjutkan perjalanan, Hoa-ji.”

"Ke mana .....?" Gadis itu bertanya lemah, menyerah.

"Ke Ta-tung."

"Eh, bukan ke Min-san?"

Ada suara girang dalam seruan ini. Han Sin juga maklum. Ta-tung adalah kota yang dekat kota raja dan Pangeran Yong Tee sering kali datang ke Ta-tung yang dijadikan pusat pertahanan dari penyerbuan Bangsa Mongol. Sebetulnya ia lebih suka mengajak Hoa-ji ke Min-san, jauh dari Pangeran Yong Tee, akan tetapi .... Bi Eng! la harus menyelidiki Bi Eng di Ta-tung, harus bertemu dengan gadis itu yang benar-benar menghancurkan perasaannya dan membingungkan hatinya. Karena inilah maka ia hendak mengajak Hoa-ji ke Ta-tung lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Min-san.

"Tidak, Hoa-moi. Kita ke Ta-tung dulu, ada urusan di sana," jawabnya singkat. Hoa-ji juga tidak bertanya lebih lanjut.

Beberapa hari kemudian tibalah mereka di Ta-tung. Alangkah kecewa hati Han Sin ketika melihat perubahan besar sekali di kota ini. Kotanya masih ramai, malah lebih ramai dari pada dahulu. Akan tetapi di sini tidak terlihat lagi orang-orang kang-ouw yang membantu Mancu. Hanya ada beberapa pasukan serdadu Mancu menjaga kota. Agaknya karena tentara Mongol sudah dihancurkan dan dipukul cerai-berai di sana-sini, kota ini dianggap sudah aman dan tidak menjadi pusat pertahanan lagi. Lebih berat rasa hati Han Sin ketika mencari keterangan di sana-sini, tak seorangpun tahu ke mana perginya orang-orang gagah dari selatan yang tadinya membantu pertahanan bala tentara Mancu. Tak seorangpun tahu ke mana perginya Li Hoa, Li Goat, Yan Bu, Bi Eng, para tosu dan lain-lain orang gagah.

Dengan penuh kekecewaan, Han Sin mengajak Hoa-ji bermalam di sebuah rumah penginapan. Tak seorangpun mengenal Hoa-ji karena gadis ini baru sekarang muncul di muka umum dengan muka tidak tertutup. Andaikata dia berkedok seperti biasa, setiap orang serdadu Mancu tentu akan mengenalnya sebagai puteri Hoa Hoa Cinjin yang membantu orang Mongol dan tentu akan timbul urusan hebat!

Kakak beradik ini mendapat sebuah kamar besar dengan tempat tidur dua buah. Tadinya Han Sin hendak minta dua kamar, akan tetapi ternyata kamar yang lain sudah tersewa orang, penginapan-­penginapan penuh sehingga terpaksa ia menerimanya juga. Bagaimanapun juga, Hoa-ji adalah adik kandungnya. Apa salahnya tidur sekamar apalagi berpisah pembaringan?

Han Sin malam itu gelisah, tak dapat tidur. Ia melihat Hoa-ji segera tidur setelah membaringkan tubuhnya. Bermacam pikiran mengganggu Han Sin, terutama sekali soal Bi Eng. Agaknya tak dapat disangsikan lagi bahwa gadis itu sudah tahu akan keadaan dirinya yaitu bahwa dia adalah anak Balita dan bernama Tilana. Akan tetapi andaikata sudah tahu akan hal itu, mengapa seakan-akan membencinya dan malah mengeroyoknya? Mengapa pula membantu Bhok Kian Teng? Hal ini benar-benar amat mengganggu hatinya, menggelisahkannya dan ia takkan mau sudah kalau belum dapat membongkar rahasia baru ini. Aku harus bertemu dengannya, harus bicara dengannya dari hati ke hati. Ah, .... Bi Eng ...!!” Dengan pikiran ini dan nama gadis ini di bibirnya, akhirnya Han Sin tertidur juga menjelang tengah malam.

Tiba-tiba Han Sin sadar dari tidurnya. Ada suara yang membuat ia terbangun. Otomatis tangan kanannya menggerayang ke gagang pedang Im-yang-kiam yang ia letakkan di sebelah kanannya sambil melirik, alangkah kagetnya melihat pembaringan Hoa-ji di sebelah kanannya telah kosong! Hoa-ji telah meninggalkan kamar itu!

Han Sin cepat-cepat menengok ke kiri, ke arah jendela. Ternyata jendela sudah terbuka. Belum jauh, pikirnya. Ke mana perginya Hoa-ji? Harus kukejar. Akan tetapi sebelum ia meloncat turun, tiba-tiba ia mendengar suara orang mendekati jendela. Lilin di atas meja masih bernyala, kini bergerak-gerak tertiup angin yang masuk melalui jendela. Memang ia sengaja tidak memadamkan lilin karena merasa tidak enak tidur sekamar dengan Hoa-ji tadi. Apakah orang yang mendekati jendela itu Hoa-ji yang datang kembali? Han Sin pura-pura tidur kembali, membuka sedikit matanya untuk mengintai ke arah jendela.

Tak lama kemudian, sesosok bayangan orang melayang masuk melalui lubang jendela itu. Tak dapat disangkal lagi, tubuh seorang wanita! Tapi bukan Hoa-ji! Siapa dia ....? Han Sin memperlebar sedikit matanya ketika melirik. Cahaya penerangan lilin yang suram menimpa wajah wanita itu yang sudah berada di dekat meja dan.... tegang-tegang seluruh urat-syaraf di tubuh Han Sin ketika mengenal wanita ini bukan lain adalah Bi Eng! Hampir tak kuat ia menahan gelombang perasaannya, namun ia cepat mengumpulkan tenaga menindih perasaannya, tinggal berbaring seperti orang tidur pulas, tapi diam-diam memperhatikan gerak-gerik gadis itu.

Memang gadis itu bukan lain adalah Bi Eng! Masih manis, masih cantik jelita seperti biasa, hanya agak pucat dan sinar matanya memancarkan kemarahan di samping kedukaan yang mendalam. Senyum yang dulu setiap saat membayang di bibirnya kini lenyap, terganti oleh bayangan siksa batin yang hebat.

“Bi Eng .... kasihan kau ....” demikian keluh hati Han Sin.

Akan tetapi gadis itu sebaliknya. Dengan muka beringas gadis itu mencabut pedangnya, lalu menghampiri ranjang Han Sin! Maut membayang di mukanya, nampak jelas gigi yang dikertakkan itu berkilat ketika bibirnya terbuka sedikit, seakan-akan mengeraskan hatinya. Sepintas gadis itu mengerling ke arah tempat tidur Hoa-ji yang kosong, lalu bibirnya mengejek,

"Laki-laki hidung belang! Mata keranjang ....!” Ucapan ini terdesis dari bibirnya, membuat Han Sin diam-diam merasa kaget dan heran sekali. Kenapa Bi Eng menganggapnya laki-laki mata keranjang dan hidung belang? Apakah ada hubungan dengan peristiwa Tilana dahulu?

Bibir Bi Eng bergerak-gerak lagi berbisik-bisik dengan suara menyeramkan.
“....sudah tahu aku bukan adiknya masih berpura-pura.... mencari kesempatan mempermainkanku.... musuh besar yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.... laki-laki mata keranjang, mempermainkan Kiok Hwa, sekarang punya pacar lain.... keparat....!”

Untuk sedetik Han Sin terheran. Mempermainkan Kiok Hwa ....? Tapi pikirannya yang cerdik segera dapat menerkanya. Agaknya Tilana yang disebut Kiok Hwa itu. Mungkin nama aselinya, nama puteri Ang-jiu Toanio adalah Kiok Hwa!

"Lebih baik melihat kau mampus!" Bi Eng mengangkat pedangnya, siap untuk menikam dada Han Sin.

Pemuda ini sama sekali tidak merasa takut. Sama sekali tidak mau melawan. Terlalu hancur hatinya untuk mengingat tentang keselamatannya. Biarlah ia mati di tangan Bi Eng. Untuk apa hidup kalau Bi Eng sudah membencinya sedemikian rupa? Jelas sekarang, Bi Eng sudah bertemu dengan Balita, sudah tahu bahwa dia puteri Balita. Sekarang Bi Eng hendak membalas dendam ibunya karena perbuatan Cia Sun. Selain itu, agaknya Bi Eng sudah membencinya karena.... Tilana! Dan Han Sin tak dapat menyangkal pula. Biarlah dia mati di tangan Bi Eng. Han Sin merapatkan matanya dan tersenyum. Aku rela mati di tanganmu, kekasihku!

Tapi ujung pedang yang runcing tidak datang-datang. Malah terdengar jerit tertahan disusul tangis.

“....aku tak bisa..... tak bisa membunuhnya .... ahh ......"

Han Sin membuka matanya, melihat Bi Eng menutupi muka sambil menangis terisak-isak, pedangnya tergantung di tangan kanan, tangan kiri menutup muka!

"Bi Eng ...." Han Sin memanggil lirih.

Gadis itu terkejut, membuka tangannya. Untuk sesaat dua pasang mata bertemu. Mata Han Sin memancarkan cahaya lembut dan mesra, penuh cinta kasih, mata Bi Eng terbelalak, kaget, malu, duka dan marah. Kemudian gadis itu memutar tubuhnya dan meloncat ke arah jendela.

"Bi Eng..... aku cinta padamu....!" Han Sin berkata sambil bergerak bangun. Akan tetapi Bi Eng hanya memperdengarkan sedu-sedan mendengar kata-kata ini dan menghilang di dalam gelap.

Han Sin meloncat ke jendela, hanya menghadapi malam yang hitam. Tidak nampak lagi bayangan Bi Eng, juga tidak nampak bayangan Hoa-ji. Cepat ia mengambil pedang dan pakaian, lalu melompat keluar dan mencari dua orang gadis itu, atau lebih tepat lagi, mengejar dan mencari Bi Eng, karena dalam saat itu, kekhawatirannya akan Hoa-ji dikalahkan oleh keinginannya untuk mengejar dan bicara dengan Bi Eng.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment