Ads

Wednesday, September 5, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 062

◄◄◄◄ Kembali

Sampai menjelang fajar Bi Eng, yang sekarang menggunakan nama Tilana itu, berlari-lari dari Ta­tung sambil menangis sepanjang jalan.

"Aku tidak tega membunuhnya..... dia tersenyum, ah.... Sin-ko, bagaimana aku.... tega membunuhmu ......?" demikian terdengar ucapannya di antara isak tangisnya.

Setelah tiba di sebuah hutan di selatan kota Ta-tung, ia segera memasuki hutan itu. Tentu saja Bi Eng sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang hampir dibunuhnya, yang dikenangnya sepanjang perjalanan itu, sejak tadi mengikutinya dari jauh.

Matahari telah mulai menerangi permukaan bumi ketika Bi Eng tiba di sebuah tempat terbuka, tempat indah di mana tumbuh pohon bambu di samping dinding gunung batu yang menjulang tinggi. Di bawah pohon-pohon bambu itu, duduklah seorang pemuda di atas batu licin bersih. Pemuda ini berdiri sambil tersenyum ketika melihat Bi Eng datang. Seekor monyet melompat dan hinggap di pundak Bi Eng.

"Kau baru datang? Duduklah, tentu kau lelah," kata pemuda tampan itu yang bukan lain adalah Bhok-kongcu atau Bhok Kian Teng, juga belum lama ini disebut Pangeran Galdan.

Bi Eng menjatuhkan dirinya di atas rumput, mengusap kepala Siauw-ong monyet itu, lalu menarik napas panjang. Diam-diam Bhok-kongcu melihat bekas air mata di sepanjang pipi gadis itu, maka sambil memandang tajam pemuda itu bertanya,

"Bagaimana, adik Tilana. Selesaikah tugasmu? Berhasilkah kau membunuh musuh besarmu?" berkata demikian pemuda ini duduk di dekat Bi Eng, lalu memegang lengan gadis itu dengan sikap mesra. Bi Eng menarik tangannya seperti tidak sengaja, akan tetapi ketika pemuda itu memegang lagi ia menariknya dengan keras.

"Sudah berkali-kali kukatakan bahwa aku tak suka kau pegang-pegang, harap kau jangan memaksa!”

Bhok-kongcu tersenyum, memperlihatkan giginya yang berderet rapi dan putih. "Adik Tilana, kau tidak tahu betapa hatiku selalu penuh olehmu, betapa aku amat mencintaimu dan ingin selalu berdekatan denganmu. Di antara tunangan dan calon suami isteri yang sudah disyahkan oleh orang tua masing-masing, apa sih halangannya kalau hanya berpegang tangan?"

Sepasang mata gadis itu mengeluarkan sinar marah. "Memang ibuku yang menerima lamaranmu, akan tetapi bukan aku! Aku tidak membantah karena tidak mau menyusahkan hati ibu, kau tahu akan hal ini dan kau sudah berjanji akan memaklumi isi hatiku ini asal aku tidak memusuhimu. Apakah kau hendak melanggar janji?”

Bhok-kongcu menghela napas. "Alangkah kerasnya hatimu, adik Tilana. Kapankah kau dapat bersikap lebih baik kepadaku? Biarlah aku sabar menanti, akan tetapi sedikitnya berlakulah manis kepadaku ...."

"Sikapku tergantung pada sikapmu sendiri. Jangan ceriwis, jangan kurang ajar ...."

Bhok-kongcu tertawa masam. "Baiklah, aku akan bersikap seperti anak yang baik. Toh akhirnya kau menjadi punyaku. Eh, adikku yang manis, bagaimana dengan tugasmu malam tadi? Berhasilkah ..... ?"

Bi Eng menggeleng kepala. "Tak dapat aku membunuhnya .....”

"Hee ...?? Tak dapat membunuh musuh besar, anak orang yang sudah menghina ibumu? Tilana, ..... bagaimana ini? Apakah kau sudah berhasil memasuki kamarnya? Betul tidak bahwa dia tidur bersama seorang gadis cantik?"

Bi Eng mengertak gigi, matanya memancarkan cahaya kemarahan. "Betul....., dia bedebah, mata keranjang! Benar-benar aku malu kalau mengenangkan hal itu........ agaknya bukan perempuan baik. Malam-malam keluar dari kamar dan pergi tanpa pamit, meninggalkan dia sendiri. Aku berhasil masuk ke kamarnya setelah perempuan itu minggat, dia sedang tidur dan aku.... aku.... ah, tak tega aku membunuhnya.... bagaimana aku bisa membunuh seorang yang sejak kecil kupandang sebagai kakak kandungku .....??" Gadis itu lalu menangis.

Tiba-tiba Bhok-kongcu nampak marah sekali. "Kau .... kau mencintai dia! Celaka! Kau malah jatuh cinta kepadanya, ..... setan!"

Bi Eng meloncat berdiri serentak, sampai membuat Siauw-ong kaget sekali. "Tutup mulutmu! Jangan kau bicara sembarangan!" Gadis itu berdiri tegak, mukanya pucat, suaranya gemetar.

"Ha ha ha, siapa bicara sembarangan? Kau tadi nampak marah-marah ketika bicara tentang perempuan di kamarnya, tanda bahwa kau cemburu. Hanya orang yang mencinta saja bisa cemburu. Kau tidak tega membunuhnya. Hemm, apa lagi artinya kalau bukan kau sudah jatuh hati kepadanya! Tilana, jangan kau main-main. Kau adalah tunanganku, calon isteriku. Aku yang tidak membolehkan kau tergila-gila kepada laki-laki lain. Kupegang tanganmu saja kau tidak suka dan kau.... kau tergila-gila kepadanya. Mulai sekarang jangan bertingkah lagi, kau harus menjadi isteriku. Kau harus ikut dengan aku." Setelah berkata demikian, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tubuhnya dan di lain saat Bi Eng sudah dipeluknya!

Bi Eng menjerit dan memberontak, tapi mana bisa dia melawan kekuatan Bhok-kongcu. Pada saat itu Bhok-kongcu mengeluarkan seruan kesakitan dan terpaksa melepaskan pelukannya. Kesempatan ini dipergunakan Bi Eng meronta dan melompat ke depan menjauhkan diri. Ternyata Siauw-ong tadi "turun tangan" menyerang dan menggigit pundak Bhok-kongcu ketika melihat nonanya diganggu orang.

"Monyet keparat!"

Bhok-kongcu membentak marah dan maju memukul monyet itu. Akan tetapi Siauw-ong bukan monyet biasa, cepat mengelak dan meloncat ke belakang Bi Eng untuk berlindung. Sementara itu, Bi Eng sudah marah sekali. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu menggunakan kepalan tangannya, menyerang Bhok-kongcu dengan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat, malah ketika Bhok-kongcu mendesaknya dengan ilmu silatnya yang lebih kuat, gadis ini menggunakan beberapa jurus dari Thian-po-cin-keng yang pernah ia pelajari dari Han Sin.

"Kau hendak melawan tunanganmu?" Bhok-kongcu membentak. “Tunggu, kelak kuberitahukan kepada Balita, tentu kau akan dihajar!"

Akan tetapi Bi Eng yang sudah marah tidak bisa ditakut-takuti lagi, terus menerjang dengan nekat. Betapapun juga, mana bisa dia melawan Bhok-kongcu yang amat lihai, yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada gadis itu? Segera ia terdesak mundur. Siauw-ong maklum akan bahaya yang dihadapi nonanya, maka sambil memekik-mekik monyet inipun maju membantu Bi Eng. Namun percuma saja, Siauw-ong bahkan dua kali kena ditendang oleh kongcu itu sampai bergulingan. Dasar monyet berani mati dan setia, begitu bangun ia melawan pula sambil memekik-­mekik seperti orang memaki-maki. Bi Eng juga melawan dengan nekat, malah kini gadis itu tidak segan-segan menggunakan pedangnya.

"Kau mengajak mati-matian? Keparat!" Bhok-kongcu membentak marah.

Ketika pedang Bi Eng berkelebat menusuk dadanya dengan gerakan sungguh-sungguh dalam serangan maut, pemuda ini miringkan tubuh, tangan kirinya bergerak menyambar pedang, tangan kanannya bergerak pula menangkap pergelangan lengan Bi Eng. Di lain saat, Bi Eng tak dapat bergerak pula, pedangnya terlepas dan ia tertangkap!

"Ha ha ha, manisku, apa kau mau memberontak lagi? Benar-benar kau seekor kuda betina yang binal!" Sambil tertawa-tawa Bhok-kongcu menowel pipi Bi Eng. Gadis itu bukan main marahnya, marah dan takut karena pemuda cabul itu agaknya hendak berbuat lebih kurang ajar lagi. Siauw-ong maju hendak menolong, akan tetapi sebuah tendangan membuat monyet itu terguling-guling sampai jauh!

"Toloonggg .....!” Bi Eng tak dapat menahan ketakutannya melihat Bhok-kong¬cu merangkulnya, sampai mengeluarkan teriakan minta tolong ini.

"Plakk!" Sebuah telapak tangan menepuk pundak kanan Bhok-kongcu, membuat pemuda itu merasa lengan kanannya lemas dan lumpuh dan terpaksa ia tak dapat menahan ketika Bi Eng meronta dan melompat menjauhkan diri.

Dengan kemarahan meluap-luap Bhok-kongcu memutar tubuh dan ia berhadapan muka dengan .... Cia Han Sin! Seketika Bhok-kongcu menjadi pucat mukanya.

"Kau ....??"

Han Sin tersenyum. ”Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng, nafsu angkara murkamu telah membawa bangsamu ke kehancuran. Kau tidak bertobat dan hidup baik-baik menebus dosa, malah kau menambah dosamu dengan perbuatan-perbuatan yang makin lama makin jahat dan tak tahu malu."

"Kau .... kau hendak membunuhku .....??" Pangeran Mongol itu nampak ketakutan.

Han Sin tersenyum lebar. "Kiranya sudah sepatutnya kalau aku melakukan hal itu. Sudah berapa kali kau berusaha membunuhku? Hanya karena aku tidak sudi mengikuti jejak hidupmu, maka aku belum membunuhmu sampai sekarang. Akan tetapi kali ini.......“

Han Sin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena secara curang dan tiba-tiba Bhok Kian Teng sudah mengirim serangannya. Akhir-akhir ini ia sudah mempelajari Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) dari ayahnya, akan tetapi dasar dalam kecerdikan ia lebih unggul dari pada Pak-thian-tok, ia dapat mengusahakan sedemikian rupa dengan segala macam obat penggosok kedua lengannya sehingga biarpun sudah berhasil memenuhi kedua lengan tangannya dengan hawa beracun dari Hek-tok-ciang, namun kulit kedua lengannya tetap putih mulus, tidak seperti kedua lengan Pak­thian-tok yang menjadi hitam hangus kalau mengeluarkan ilmu yang dahsyat ini!

Han Sin cepat mengelak dan di lain saat kedua orang muda itu sudah bertempur mati-matian dengan tangan kosong. Kaget juga hati Han Sin ketika mendapat kenyataan betapa sambaran kedua tangan pemuda Mongol itu mengandung hawa aneh yang selain kuat, juga seperti mengandung hawa beracun yang dahsyat. Bau amis menyerang hidungnya tiap kali tangan pemuda lawannya itu menyambar, padahal pada kedua lengan itu ia tidak melihat tanda-tanda bahwa lawannya menggunakan pukulan beracun.

"Kau memang manusia keji!" bentaknya dan dengan pukulan-pukulan dari Thian-po-cin-keng, sebentar saja ia sudah berhasil mendesak Bhok-kongcu sampai Pangeran Mongol itu tak mampu membalas, hanya main mundur, main kelit dan loncat saja.

Siauw-ong terdengar memekik-mekik gembira ketika monyet ini melihat Han Sin mendesak lawannya. Akan tetapi, tiba-tiba teriakan girangnya terhenti ketika Bi Eng menarik tangannya dan membawa monyet itu lari cepat meninggalkan tempat itu.

"Bi Eng .....!”

Han Sin terpaksa menunda desakannya kepada Bhok-kongcu ketika melihat Bi Eng lari pergi. Ia sedang menengok ke arah Bi Eng dan hal ini dipergunakan oleh Bhok-kongcu yang amat curang untuk mengirim serangan lagi, kini menggunakan sebuah kipas yang beracun. Serangannya cepat dan dahsyat, mengarah lambung!

"Pengecut curang!" Han Sin terpaksa membalikkan tubuh dan menanti kipas itu dekat, tiba-tiba tangannya bergerak menyabet dan .....

"Prakk!" Kipas itu hancur berkeping-keping terkena sabetan jari-jari tangan Han Sin!

Bhok-kongcu terhuyung-huyung mundur dengan muka pucat. Han Sin yang sudah marah sekali melangkah maju.

Mendadak sekali sebuah lengan yang amat panjang tahu-tahu menyelonong ke tempat pertempuran dan mencengkeram pundak Han Sin yang sedang mendesak Bhok-kongcu. Pemuda ini maklum bahwa si jangkung sudah muncul lagi. Ia marah sekali dan cepat menggunakan tangannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Menurut perhitungan Han Sin, sekali tangkisannya ini tentu akan mematahkan tulang lengan si jangkung.

Akan tetapi, tiba-tiba lengan yang agaknya bisa mulur mengkeret seperti karet itu tiba-tiba ditarik menjadi pendek sehingga tangkisan Han Sin tidak mengenai sasaran. Dan pada saat itu, si jangkung sudah menghadang di depannya, bersama dua orang lain yang segera ia kenal baik karena mereka itu bukan lain adalah dua orang raksasa kembar yang pernah mengeroyoknya dulu, yaitu pembantu-­pembantu Pak-thian-tok Bhok Hong. Sekaligus ia menghadapi tiga orang lawan yang aneh dan tinggi ilmu silatnya.

Kalau aku tak dapat menewaskan tiga orang ini, tak mungkin dapat menangkap Bhok Kian Teng, pikir Han Sin yang cepat melakukan serangan-serangan kilat. Tiga orang lawannya juga mendesak maju dan terjadilah pertempuran yang amat hebat.

Han Sin benar seorang pemuda berjiwa gagah. Melihat tiga orang lawannya bertangan kosong, iapun tidak mau mengeluarkan Im-yang-kiam yang terbelit di pinggangnya. Iapun melawan dengan tangan kosong! Malah timbul kegembiraannya karena sekarang ia mendapat kesempatan menguji ilmu silatnya dengan ilmu silat asing yang tak pernah dilihatnya. Dan benar-benar ia mendapatkan kenyataan bahwa ilmu silat tiga orang itu benar-benar aneh.

Si jangkung memiliki ilmu silat seperti dua ekor ular yang menyambar dari atas dan bawah, yaitu kedua lengan tangannya yang panjang dan dapat mulur mengkerut! Adapun sepasang raksasa itu, selain bertenaga besar luar biasa, juga ternyata merupakan ahli-ahli ilmu silat semacam Ilmu Silat Houw-jiauw-kang (Cakar Harimau) atau Eng-jiauw-kang (Cakar Garuda) yang mengutamakan gerakan mencengkeram, menangkap, dan membanting.

Amat berbahaya kalau sampai tertangkap oleh mereka, sungguhpun yang menangkap itu hanyalah dua buah ibu jari dari tangan kanan kiri. Benar-benar aneh dan sukar dipercaya bagaimana orang yang hanya memiliki dua buah jari kanan kiri dapat mempelajari ilmu silat yang mengutamakan mencengkeram dan menangkap!

Setelah melawan tiga orang ini sambil diam-diam memperhatikan ilmu silat mereka, Han Sin mendapat kenyataan bahwa dalam hal menyerang mereka itu tidak begitu berbahaya, akan tetapi pertahanan mereka benar-benar amat mengagumkan. Ia sudah membalas dengan beberapa jurus dari Thian-po-cin-keng akan tetapi setiap kali serangannya akan mengenai sasaran, tentu seorang di antara mereka dapat menolong kawan.

Ternyata mereka itu dapat bekerja sama secara baik dan teratur. Seakan-akan mereka itu melakukan siasat dalam barisan. Benar-benar amat mengagumkan dan kepandaian mereka ini saja sudah membangkitkan rasa simpati di hati Han Sin yang menjadi tidak tega untuk membunuh mereka!

"Kalian pergilah, aku tidak bermusuhan dengan kalian!” katanya dalam bahasa Mongol.

Hati Han Sin sudah amat kecewa melihat bahwa selain Bi Eng yang sudah pergi entah ke mana, juga Bhok kongcu sudah tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kongcu yang amat curang dan cerdik itu ternyata sudah menggunakan kesempatan tadi untuk melarikan diri secara diam-diam.

Akan tetapi tiga orang pembantu Bhok-kongcu itu mana mau menyudahi pertempuran itu begitu saja? Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari dunia utara dan barat, sekarang mengeroyok seorang pemuda tak dapat menang, benar-benar keterlaluan dan penasaran sekali!

"Belum ada yang kalah atau menang, mana bisa berhenti?" seru si jangkung yang suaranya tinggi kecil seperti bentuk tubuhnya.

Han Sin sebagai seorang ahli silat maklum akan perasaan mereka ini, maka cepat ia lalu mengatur langkah langkahnya dengan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng, sedangkan kedua tangannya lalu dikepal hanya mengeluarkan dua buah jari tangan untuk mainkan jurus-jurus dari ilmu silat Lo-hai Hui-kiam! Bukan main hebatnya ilmu silat campuran dari dua macam ilmu silat kelas tinggi ini. Mana bisa tiga orang itu mampu menghadapinya? Berturut-turut mereka memekik dan roboh tertusuk jari tangan Han Sin yang hanya melukai mereka saja, tidak tega membinasakan.

Setelah mereka roboh, cepat ia meloncat pergi dan mencari Bhok-kongcu dan Bi Eng. Ia tidak tahu ke mana mereka itu pergi, maka dengan hati berat ia lalu mencari sekehendak hatinya saja. Kemudian, setelah tidak berhasil usahanya mencari di sekitar daerah itu, ia kembali ke Ta-tung.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment