Ads

Wednesday, September 5, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 064

◄◄◄◄ Kembali

Memang dugaan Yan Bu tadi tidak keliru. Li Hoa yang menaruh curiga kepada Tilana, diam-diam melakukan pengejaran. Ia merasa yakin bahwa Bi Eng tentu menghadapi bencana di tangan gadis Hui itu, dan mungkin sekali gadis bangsa Hui itu tahu pula di mana adanya Han Sin. Baiknya dalam perjalanan ini, Tilana tidak mengerahkan seluruh kepandaiannya, maka Li Hoa dapat mengikuti terus.

Akan tetapi setelah tiba di luar pintu gerbang sebelah utara kota raja, mereka melalui daerah terbuka. Hal ini membuat Tilana dapat melihat bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Namun Tilana berjalan terus, hanya sedikit mempercepat larinya. Ketika melihat bahwa bayangan itupun berlari cepat, gadis ini tersenyum mengejek. Baiklah kutunggu sampai pagi dan kulihat, mau apa dia?

Mereka telah berada di daerah pegunungan dan Tilana berhenti di tepi sungai yang mengalir di sebelah utara kota raja. Malam telah lewat, matahari hampir tampak, didahului cahayanya yang kemerahan. Sambil tersenyum Tilana membalikkan tubuhnya dan melambaikan tangan.

"Sahabat di belakang, kau mengikuti aku dari kota raja, ada maksud apakah? Jangan bersikap seperti pengecut!"

Merah wajah Li Hoa mendengar seruan ini dan melihat sikap yang mengejek dari nona cantik jelita itu. Ia cepat keluar dari tempat sembunyinya dan dengan dua kali loncatan jauh ia sudah berdiri tegak di depan Tilana. Gadis ini mau tak mau kagum juga menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang begitu hebat, juga terkejut mendapat kenyataan bahwa yang mengikutinya bukan lain adalah gadis cantik yang di kota raja tadi bertanya tentang Han Sin. Dadanya menjadi panas.

Kalau tadinya Tilana merasa amat berduka tiap kali teringat akan hubungannya dengan Han Sin yang dianggap kakak kandungnya, sekarang ia bahkan merasa girang kalau teringat akan hal itu. Han Sin bukan kakak kandungnya, melainkan suaminya! Dan cinta kasihnya terhadap Han Sin makin mendalam, tentu saja ia menjadi panas dan cemburu sekali melihat seorang gadis jelita seperti Li Hoa bertanya-tanya tentang suaminya itu!

Li Hoa yang merasa malu karena orang yang diikutinya sudah tahu akan perbuatannya, terpaksa muncul dan berkata dengan nada minta maaf,

"Aku tidak bermaksud buruk, hanya ingin kauberi tahu di mana adanya adik Bi Eng dan kanda Han Sin ......"

Mengenai sebutan "adik Bi Eng" dan terutama sekali "kanda Han Sin" ini, isi dada Tilana makin panas. Namun ia tetap tersenyum manis ketika bertanya,

"Kau tanya-tanya tentang mereka. Apamu sih mereka itu?"

Muka Li Hoa menjadi makin merah. “.....bukan..... bukan apa-apa, hanya sahabat-sahabat baik," jawabnya kemudian, agak gagap karena pertanyaan dari gadis Hui yang aneh ini benar-benar tak disangka-sangkanya.

Makin cemburu hati Tilana, makin lebar senyumnya. Tak percuma gadis ini semenjak kecil menjadi anak dan murid Balita, sedikit banyak sifat Balita sudah menurun kepadanya.

"Ehemm, kau mencinta Cia Han Sin, bukan? Katakan terus terang, kalau tidak, akupun tidak mau memberitahu kepadamu di mana adanya Cia Han Sin dan Bi Eng."

Tentu saja Li Hoa menjadi makin jengah dan malu, malah ia hampir marah. Akan tetapi mengapa tidak berterus-terang saja, pikirnya. Lebih baik mengaku dan kemudian mendengar keterangan gadis aneh ini di mana adanya Han Sin. Kalau ia bersitegang, tentu gadis itupun tidak mau memberi tahu dan mungkin sekali mereka menjadi musuh. Melihat gelagatnya, musuh seperti gadis Hui ini bukanlah musuh ringan!

"Kau tidak keliru menduga. Memang, aku cinta kepadanya. Nah, sekarang harap kau suka memberi petunjuk di mana aku dapat menyusul dia, dan di mana pula adanya adik Bi Eng." Setelah membuat pengakuan ini melalui mulutnya, Li Hoa tidak malu-malu lagi menentang mata Tilana. Ia terkejut melihat betapa sepasang mata indah dari gadis Hui itu seakan-akan bernyala, akan tetapi hanya sebentar, segera berganti pandang berseri dan mulut yang manis itu tersenyum lebar.

"Ha, jadi kau mencinta Cia Han Sin? Kau masih terhitung apakah dengan Phang Yan Bu?"

Li Hoa teringat betapa gadis ini tadi menyebut Yan Bu sebagai kakak kandung, maka tanpa ragu-­ragu ia menjawab,

"Aku adalah sahabat baiknya juga. Tilana, betulkah kau ini adik kandungnya? Bagaimana kau bisa mengaku begitu?"

"Hal itu bukan urusanmu. Kau tadi bilang mencinta Han Sin?" sambil berkata demikian, Tilana meloloskan pedang dari sarung pedangnya perlahan-lahan!

Melihat gerakan ini, Li Hoa curiga dan siap-siaga. Boleh jadi ia salah duga, boleh jadi dengan pengakuannya ini ia malah menjadikan Tilana sebagai musuh. Apa boleh buat, ia tidak dapat mundur lagi.

"Betul," jawabnya tenang, "aku mencinta Cia Han Sin."

"Mampuslah!" seru Tilana tiba-tiba dan "srattt!" pedangnya dicabut serentak lalu secepat itu pula pedangnya sudah meluncur menusuk ke arah muka Li Hoa. Serangan ini seharusnya ditusukkan ke dada atau leher, kalau Tilana sudah menusuk ke arah muka, itu hanya menandakan bahwa ia amat benci dan marah.

Cepat Li Hoa mengelak. Hal ini mudah ia lakukan karena ia memang sudah menaruh curiga dan sudah siap. Sambil melompat ke samping ia mencabut juga pedangnya. Dua orang wanita muda cantik, sama gagah, berdiri berhadapan dengan pedang telanjang di tangan.

"Tilana, seorang gagah tidak bersikap sembunyi-sembunyi. Aku Thio Li Hoa selamanya tidak pernah bermusuhan denganmu, semua pertanyaanmu kujawab sejujurnya. Mengapa tanpa sebab kau menyerang?"

"Li Hoa, buka telingamu baik-baik. Cia Han Sin adalah suamiku, mengerti? Orang lain, menyebut namanya saja tidak boleh, apa lagi seperti kau ini mengaku aku cinta. Cih, tak tahu malu!"

Sepasang mata Li Hoa bersinar marah. "Perempuan rendah, tebal sekali mukamu berani membohong. Cia Han Sin belum menikah, bagaimana bisa mempunyai seorang isteri macam engkau?"

Tilana makin marah, pedangnya berkelebat dan ia menyerang dengan ganas. Li Hoa menangkis dan sebentar saja dua orang gadis cantik itu saling serang dengan nekat dan mati-matian bagaikan dua ekor singa betina bertanding memperebutkan kelinci! Li Hoa adalah murid pertama dari Coa-tung Sin-kai sedangkan Tilana mewarisi kepandaian Jin-cam-khoa Balita. Kepandaian mereka pada waktu itu sudah jarang dapat ditandingi oleh gadis-gadis lain. Watak mereka sama-sama keras dan gagah, tidak kenal takut. Maka pertandingan itu hebatnya bukan main. Dua batang pedang yang runcing tajam itu berkelebatan menyambar-nyambar, sewaktu-waktu dapat merobek perut atau dada, dapat memenggal leher membikin buntung tangan dan kaki!
Puluhan jurus lewat dan biarpun pertandingan masih berjalan seru sekali, namun dapat dilihat bahwa perlahan-lahan Li Hoa makin terdesak. Ilmu pedangnya biarpun sama cepat dan kuatnya, namun kalah ganas dan repot jugalah akhirnya Li Hoa menghadapi rangsekan yang ganas dan dahsyat dari pedang Tilana.

Tiba-tiba Tilana mengeluarkan seruan nyaring, tangan kirinya tahu-tahu sudah menyambar sebatang anak panah di punggungnya dan begitu tangan kirinya itu diayun, anak panah menyambar laksana terlepas dari gendewa, ke arah dada Li Hoa! Tentu saja Li Hoa kaget sekali menghadapi senjata rahasia ini, cepat ia menangkis dengan pedangnya.

"Traang! Anak panah terpukul runtuh, akan tetapi pada saat Li Hoa menangkis anak panah, pedang Tilana sudah "bekerja", membabat leher Li Hoa. Gadis ini terkejut dan merendahkan tubuh, akan tetapi tetap saja pundaknya terserempet pedang, kulitnya terkupas sedikit. Darah mengucur dan tubuh Li Hoa terhuyung ke belakang. Tilana mengeluarkan pekik nyaring dan liar, terus mendesak maju dengan tusukan-tusukan maut. Dua kali ia menusuk dan dua kali Li Hoa berhasil menangkis, akan tetapi ketika menangkis untuk ke tiga kalinya sambil mundur, Li Hoa menginjak batu bulat dan tergelincir, roboh terguling.

"Hemm, kau mau mencinta Han Sin? Mampuslah!" seru Tilana sambil mengayun pedang, penuh kebencian!

"Trangg!" Pedang di tangan Tilana bertemu dengan pedang lain yang pada saat itu menangkis. Tilana kaget dan me¬mandang.

"Kau .....??" tegurnya ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya dengan muka beringas dan penuh benci adalah..... Bi Eng! Bi Englah yang menangkis pedang Tilana tadi, tepat pada saat Li Hoa terancam bahaya maut.

"Ya, aku!" jawab Bi Eng dan diam diam Tilana terheran mengapa sikap Bi Eng sekarang demikian berubah, tidak ramah dan manis seperti dulu terhadapnya, melainkan kasar dan agaknya penuh kemarahan dan kebencian. "Jangan khawatir, enci Li Hoa, aku membantumu mengenyahkan siluman ini!" Setelah berkata demikian, Bi Eng menggerakkan pedangnya menyerang Tilana!

"Eh....., eh...., apa kau gila......?" Tilana berseru marah sambil menangkis.

Akan tetapi Bi Eng menyerang terus dan Li Hoa juga sudah menyerangnya dengan gemas. Menghadapi keroyokan dua orang gadis ini, Tilana tentu saja terdesak. la mengeluarkan seruan nyaring dan liar, lalu menyerang dua orang lawannya dengan dua batang anak panahnya. Ketika dua orang gadis itu dengan kaget mengelak, Tilana lalu melarikan diri sambil memekik nyaring, setengah tertawa, setengah menangis. Ginkangnya hebat, dua orang gadis lawannya tak dapat menyusul larinya yang amat cepat. Semenjak kecil Tilana sudah biasa berlari-larian di gunung-gunung, hutan-hutan dan padang pasir, tentu saja Bi Eng dan Li Hoa tidak mampu melawannya dalam hal berlari cepat.

"Adik Bi Eng, terima kasih atas pertolongamu," kata Li Hoa dengan girang. "Kau benar-benar membuat kami merasa gelisah sekali. Selama ini kau pergi ke mana sajakah?" Li Hoa menghampiri untuk memeluk kawan baik ini.

Akan tetapi aneh sekali. Dengan sikap keren dan pemarah, Bi Eng mengundurkan diri dan tidak mau menerima pelukan Li Hoa.

"Tak perlu berterima kasih," jawabnya singkat, "perempuan tadi memang jahat." Setelah berkata demikian, Bi Eng membalikkan tubuhnya dan...... pergi meninggalkan Li Hoa!

Tentu saja Li Hoa menjadi bengong terheran menyaksikan sifat yang tidak sewajarnya ini. Dahulu Bi Eng terkenal sebagai gadis lincah gembira yang amat peramah. Kenapa sekarang menjadi begini dan kelihatan seperti orang berduka?

"Bi Eng, tunggu....." katanya mengejar.

Namun Bi Eng mempercepat jalannya dan kedua orang gadis itu kini berkejaran. Belum jauh mereka berlari-lari, dari balik batu besar muncul seorang pemuda. Melihat orang ini, wajah Li Hoa berubah. Cepat ia mencabut pedangnya dan mempercepat larinya.

Sementara itu, ketika pemuda itu melihat Bi Eng, ia tertawa lebar.

"Ha ha ha, kalau jodoh, kemanapun juga akan bertemu. Kekasihku, benar-benar kita berjodoh, maka dapat bertemu pula di sini. Ha ha!"

Akan tetapi Bi Eng tidak menjawab, hanya merengut dan membuang muka. Pada saat itu Li Hoa sudah tiba di depan pemuda tadi. Li Hoa menudingkan pedangnya membentak,

"Pemberontak keparat! Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Kau membunuh ayahku, sekarang aku akan membunuhmu!" Biarpun pundaknya masih terasa sakit karena luka akibat pedang Tilana tadi, namun saking marahnya melihat musuh besar ini, ia lalu maju menyerang dengan hebat.

Pemuda itu bukan lain adalah Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu. Tadi ia terlampau girang melihat munculnya Bi Eng, yang betul-betul tak pernah ia sangka berada di tempat itu, maka ia kurang memperhatikan Li Hoa. Sekarang, melihat bahwa gadis yang seorang lagi adalah Li Hoa, gadis yang dulu pernah membuat ia tergila-gila kegirangannya memuncak.

"Aha, kaukah ini, nona Thio Li Hoa?" katanya sambil mengelak dengan mudah. "Kebetulan sekali, aku sedang kesepian tiada kawan, kaupun muncul di sini. Bagus, bagus ....! Kau makin manis .... saja .... ha ha ha .......!"

Li Hoa yang tiga kali berturut turut tidak berhasil dengan serangannya, mendengar ini menjadi gemas sekali. Ia mengertak gigi, memegang gagang pedangnya erat-erat, lalu maju menubruk dengan sebuah tusukan kilat.

"MAKIN liar dan ganas, makin menyenangkan...." Bhok-kongcu yang terkenal mata keranjang itu menggoda terus, kali ini ia mengelak sambil menggerakkan tangan, sekali pegang saja ia berhasil menangkap pergelangan tangan Li Hoa yang memegang pedang, diputarnya cepat-cepat membuat Li Hoa memekik kesakitan dan pedangnya terlepas. Di lain saat, sebelum Li Hoa mampu bergerak, gadis itu sudah dipeluk oleh Bhok-kongcu!

"Lepaskan aku! Keparat keji, lepaskan ...!” Li Hoa meronta dan berteriak, namun makin ia meronta, pelukan Bhok-kongcu makin erat pula sampai ia tak mampu berkutik lagi.

"Tak tahu malu! Lepaskan dia!" Bi Eng tiba-tiba membentak dan pedangnya membabat ke arah leher Bhok-kongcu.

"Hayaaa, kaupun menyerangku? Celaka, diserang oleh tunangan sendiri!" Bhok-kongcu hendak berkelakar, namun serangan ini adalah gerakan Cin-po-thian-keng yang lihai dari Ilmu Silat Thian­po-cin-keng! Bhok-kongcu kaget sekali ketika tahu-tahu mata pedang hampir membabat lehernya. Cepat ia meloncat ke belakang dan karena gerakan ini, pelukannya pada tubuh Li Hoa mengendur. Hal ini tidak disia-siakan oleh Li Hoa yang cepat menggerakkan kedua tangannya.

"Dukkk!" Kepalan kanan Li Hoa berhasil "memasuki" perut Bhok-kongcu dengan tepat.

"Aduuhhh ....!” Pemuda itu terlempar ke belakang, wajahnya pucat dan biarpun tidak membahayakan jiwanya, ternyata ia telah menderita luka dalam. la tersenyum pahit, nafsu cintanya terhadap Li Hoa berubah seketika, berubah menjadi kemarahan dan kebencian.

"Kau berani memukulku?"

"Aku malah akan membunuhmu!" Li Hoa berteriak lagi setelah mengambil pedangnya, lalu menubruk dengan serangannya yang dilakukan secara nekat.

"Baik, cobalah sebelum kau kukirim menyusul ayahmu!" Bhok-kongcu mengelak dan cepat mencabut senjatanya, yaitu sebuah kipas lebar. Beberapa belas jurus mereka bertempur dan Bi Eng berdiri ragu-ragu, tidak membantu, hanya pedangnya masih terpegang di tangan kanan.

Pada jurus ke lima belas, Bhok-kongcu sengaja memperlambat tangkisannya, akan tetapi ketika ujung pedang di tangan Li Hoa sudah dekat, ia cepat menggunakan sepasang gagang kipasnya menjepit pedang itu. Selagi Li Hoa berusaha melepaskan pedangnya, tangan kiri Bhok-kongcu datang menyambar.

"Plakk!" Tangan kiri yang putih halus, akan tetapi mengandung penuh tenaga Hek-tok-ciang itu telah menghantam dada Li Hoa. Gadis itu menjerit ngeri dan roboh terguling, tak dapat bergerak lagi!

"Manusia keji, di mana-mana membunuh orang!" Bi Eng berseru marah.

"Kaupun banyak rewel sekarang, lekas-lekas menjadi isteriku lebih baik, harus diberi hajaran!" Bhok-kongcu balas membentak dan sebelum Bi Eng sempat menyerang, pemuda itu sudah menerjangnya, tangan kiri memukul ke arah pedang dan tangan kanan menyambar pinggang Bi Eng. Terus saja ia memanggul tubuh Bi Eng yang menjerit-jerit, memaki-maki dan meronta-ronta, dibawa lari cepat meninggalkan tempat itu, meninggalkan tubuh Li Hoa yang tidak bergerak dan pakaian di dadanya sudah hancur memperlihatkan kulit dada yang hangus kehitaman.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment