Ads

Wednesday, September 5, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 065

◄◄◄◄ Kembali

"Saudara Cia Han Sin!"

Han Sin terkejut mendengar panggilan ini dan cepat menengok. Ternyata Phang Yan Bu yang memanggilnya. Yan Bu berlari datang bersama seorang gadis cantik dan gagah. Ternyata bahwa gadis itu adalah Thio Li Goat, adik Li Hoa.

"Ah, Phang-loheng, kau hendak ke manakah?"

Akan tetapi sampai lama Yan Bu tak menjawab, hanya memandang pemuda itu yang menjadi pucat dan kurus sekali dengan perasaan kasihan. la tidak banyak tahu tentang pemuda aneh dan sakti ini, hanya dapat menduga bahwa banyak hal-hal yang amat sengsara terjadi menimpa keluarga Cia dan karenanya membuat ia menaruh hati kasihan.

"Kami sedang mencari jejak adikmu. Nona Cia Bi Eng ...."

"....di mana dia........?" Han Sin memotong dengan tergesa-gesa, penuh gairah.

"Sabar dulu, saudara. Beginilah ceritanya," Yan Bu lalu menuturkan secara singkat kemunculan Tilana yang mengaku adik kandungnya itu, lalu betapa Li Hoa mengejarnya. Agaknya hanya Tilana yang tahu di mana adanya Bi Eng, maka kini Yan Bu dan Li Goat lalu pergi mencari.

"Aneh sikap Tilana itu, saudara Cia Han Sin. Dia mencarimu, dan dulupun dia yang membawa pergi Bi Eng. Dia kelihatan jahat, kami amat mengkhawatirkan keselamatan Bi Eng dan.... enci Li Hoa. Kebetulan sekali kami mendapat keterangan bahwa jejaknya berada di daerah ini."

"Kalau begitu mari kita bersama mengejarnya," kata Han Sin tidak sabar lagi. Ia tidak mau banyak bercerita, hanya ingin lekas-lekas dapat mencari dan menemui Bi Eng. Karena Bi Englah, ia menjadi pucat dan kurus kering, lupa makan, lupa tidur.

Sayang sekali mereka sedikit terlambat, kalau tidak kiranya Li Hoa takkan mengalami nasib sedemikian mengerikan. Hanya satu dua jam setelah Li Hoa roboh dan ditinggal pergi Bhok-kongcu yang menculik Bi Eng di tempat itu muncul Han Sin, Yan Bu dan Li Goat!

"Hoa-ci ....!!" Li Goat cepat menubruk cicinya dan menangis.

Li Hoa membuka matanya, memandang tiga orang itu. Melihat Han Sin, ia berbisik, "Han Sin ... bagus sekali kau datang .... ke sinilah kau ....”

Han Sin berlutut mendekati Li Hoa. Ngeri ia melihat dada yang sudah tak tertutup lagi karena pakaiannya sudah hancur, akan tetapi dada itu sudah hangus kehitaman!

"Kau terpukul Hek-tok-ciang ...." katanya sedih.

Teringat ia betapa baik gadis ini terhadapnya, betapa dulu ia tertolong oleh Li Hoa, bahkan dibela dengan taruhan nyawa, betapa dulu ketika terluka iapun dirawat oleh gadis itu. Dengan terharu ia lalu mengangkat kepala gadis itu dan dipangkunya, lalu mengambil baju luarnya untuk diselimutkan di atas dada. Kemudian beberapa jalan darah ia totok dan urut, bukan untuk mengobati, hanya untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat.

"Terima kasih ...." Li Hoa bernapas lega, "Sekarang enakan .... tidak sepanas tadi ...."

Gadis itu memandang kepada Han Sin dengan muka berseri! "Kau .... kau baik sekali. Han Sin .... tidak percuma .... aku mencintamu .... eh, kenapa kau kurus dan pucat? Han Sin, jaga baik-baik dirimu ..... aku ikut berduka kalau melihat kau susah ... dahulu itu, ketika kau disiksa Thian-san Sam-sian .... aduh, sakit sekali hatiku ....."

Melihat gadis yang sudah menghadapi maut itu masih memperlihatkan kasih sayang kepadanya, Han Sin menjadi amat terharu. Tak terasa lagi, dua butir air matanya jatuh menimpa pipi Li Hoa.

"Kau ..... kau menangis ....? Untukku ....? Ahhh, aku puas .... matipun ikhlas .... Phang Yan Bu, kau harap bersikap baik terhadap adikku .... sebaik Han Sin ini ....” Tiba-tiba suaranya terhenti dan napasnyapun terhenti.

Han Sin cepat sekali menggerakkan tangan menghidupkan peredaran darah dan mengerahkan sinkang untuk membantu jalan darah dan menghidupkan urat syaraf gadis itu, lalu berbisik di telinganya.

"Di mana Bi Eng ......."

".... Bi Eng ..... dia diculik Bhok .... ke sana ....." Matanya mengerling ke arah perginya Bhok-­kongcu lalu mata itu meram dan ..... napasnyapun terhenti sama sekali. Gadis itu meninggal dalam pelukan Han Sin.

"Kalian urus jenazahnya. Aku harus mengejar Bhok-kongcu si bedebah. Bhok Kian Teng yang membunuh Li Hoa, dengan pukulan Hek-tok-ciang. Tentu dia belum jauh!"

Yan Bu dan Li Goat mengangguk tanda setuju. Memang, siapa lagi yang dapat menghadapi Bhok Kian Teng yang lihai itu selain Han Sin? Setelah memberikan jenazah Li Hoa kepada sepasang orang muda itu untuk membawanya pergi, Han Sin cepat berlari seperti terbang ke arah yang ditunjuk oleh Li Hoa tadi. Ia berlari-lari bagaikan terbang cepatnya. Segera ia sampai di daerah yang berbatu-batu dan tahulah ia bahwa ia telah tiba dekat sungai besar.

Tiba-tiba telinganya menangkap jerit wanita, "Lepaskan aku .....!”

Dengan jantung berdebar Han Sin berlari makin cepat lagi ke arah suara itu. Setelah melompati beberapa buah batu besar, akhirnya ia melihat Bhok Kian Teng berjalan perlahan-lahan sambil memondong tubuh Bi Eng yang meronta-ronta dan memaki-maki.

"Diamlah, manis ... diamlah, sayang .... bukanlah kau calon isteriku yang syah? Ibumu sendiri sudah menyerahkan kau kepadaku. Tunggu saja, kau akan menjadi permaisuri ..... ha ha ha!" Bhok Kian Teng membelai rambut gadis yang dipondongnya itu, yang terurai menutupi lengannya.

Hampir meledak isi dada Han Sin menyaksikan penglihatan ini. Sekali melayang ia telah tiba di depan Bhok-kongcu sambil membentak, "Iblis bermuka manusia! Lepaskan dia!"

Pucat muka Bhok-kongcu ketika tiba-tiba ia melihat musuh yang paling ia takuti ini berdiri di depannya.

"Kau ....? Kau ......??" Dan ia lalu lari sambil memondong tubuh Bi Eng. Anehnya, sekarang gadis itu tidak meronta lagi, malah tidak mengeluarkan suara.

"Kau hendak membunuhku ....? Ha ha ha, tak mungkin, Cia Han Sin Aku calon raja. Aku pangeran besar, keturunan Jenghis Khan! Ha ha ha! Dan nona Tilana ini adalah calon permaisuriku ......!”

Bukan main cemasnya hati Han Sin. Agaknya Bhok-kongcu sudah menjadi gila. Hendak menyerang, ia takut kalau-kalau Bi Eng celaka di tangan pemuda Mongol itu. Maka ia cepat mengejar dengan maksud merampas tubuh Bi Eng yang dipondong Bhok-kongcu. Akan tetapi Bhok-kongcu mengerti akan maksud ini, maka ia cepat menggunakan tubuh Bi Eng untuk menyerang Han Sin!

Han Sin cepat mengelak dan pucatlah wajahnya ketika melihat gadis itu sudah lemas, tidak bergerak lagi. Saking kagetnya ia sampai berdiri tidak mengejar ketika Bhok-kongcu berlari terus. Baru setelah hilang kagetnya, ia mengejar lagi.

"Orang gila, akan kuhancurkan kepalamu kalau kau berani mengganggu dia!" geramnya marah sekali.

Bhok-kongcu sudah berlari sampai di pinggir sungai yang amat curam. Ia angkat tubuh Bi Eng dan mengancam. "Majulah setindak lagi dan .... akan kulemparkan dia ke bawah!"

Han Sin memandang dengan mata terbelalak, menjadi seperti patung, berdiri dalam jarak lima meter dari Bhok-kongcu, tidak berani bergerak.

" jangan .... jangan lakukan itu ..... dia tidak berdosa ......" suaranya memohon dengan gemetar.

"Ha ha ha ha! Dia isteriku, dia calon permaisuriku .... kau perduli apa .....? Aku boleh melakukan apa yang kusuka. Lihat ....!" Tak usah diminta lagi, Han Sin memang sudah melihat hal yang amat mengerikan hatinya. Melihat betapa baju di lambung kiri Bi Eng telah hancur ..... dan kulit lambung yang tampak berwarna hitam! Tak salah lagi, pemuda gila itu sudah melukai lambung Bi Eng dengan pukulan Hek-tok-ciang, tentu pada saat Han Sin muncul tadi karena sebelumnya Bi Eng masih memaki-maki!

Muka Han Sin menjadi beringas, sebentar pucat, sebentar merah. Sepasang matanya seperti mengeluarkan api, dan dari kepalanya mengepul uap! Melihat keadaan pemuda itu, Bhok-kongcu sampai merasa ngeri dan ketakutan.

"Awas kau ..... kuhancurkan kepalamu ...... kukeluarkan isi perutmu ..... kuseret kau ke neraka jahanam ...." dengan langkah satu-satu Han Sin menghampiri Bhok-kongcu.

"Jangan dekat, kulemparkan dia nanti ke bawah!" Bhok-kongcu mengancam lagi.

Akan tetapi Han Sin tidak perduli lagi, karena ia maklum bahwa biarpun dia tidak menangkap Pangeran Mongol itu, tetap saja nyawa Bi Eng sukar ditolong lagi. Kemarahannya meluap-luap, belum pernah selama hidupnya Han Sin semarah itu.

Bhok Kian Teng membelalakkan matanya. Ia melihat pemuda itu selangkah demi selangkah, lambat-lambat menghampirinya dan..... setiap melangkah, kakinya meninggalkan bekas yang dalam dan nyata di atas batu! Sekali saja Han Sin menggerakkan tangan, tanpa menyentuh tubuh Bhok-kongcu, pemuda gila ini tentu akan remuk isi perutnya. Hawa sinkang sudah berkumpul seluruhnya di dalam tangan kaki Han Sin.

Tiba-tiba Bhok-kongcu berteriak parau, "Inginkan dia? Nih, terimalah, ha ha ha ha!"

Tubuh Bi Eng ia lontarkan dengan kuat sekali ke arah Han Sin dan dia sendiri saking takut dan paniknya sudah melompat ke belakang, ke ... tempat kosong. Tubuhnya melayang ke bawah dan terdengar pekiknya yang menggema di lembah itu, pekik kematian karena tubuhnya disambut oleh batu-batu keras yang runcing dan mengerikan di antara air sungai.

Han Sin cepat menyambar tubuh Bi Eng. la tidak perduli lagi kepada Bhok-kongcu. Cepat ia memeriksa detak jantung dan pernapasan. Sepuluh jari tangannya menggigil saking tegangnya hati.

"Aduhh ....., syukur kau masih hidup, Bi Eng .... tapi ..... tapi .....”

la maklum bahwa ia takkan mungkin dapat mengobati Bi Eng. Pikirannya sekilat melayang kepada Phoa Kek Tee si raja obat. Akan tetapi pikiran itu buyar kembali ketika ia mengingat bahwa sekarang raja obat itu sudah kehilangan kepandaiannya karena ..... dia.

"Ahhh ..... Bi Eng ..... kalau kau mati .... akupun ikut serta ....." tiba-tiba ia teringat akan Pek Sin Niang-niang. Ya, betul dia? Satu-satunya orang di dunia ini yang dapat dimintai tolong, hanya pertapa wanita itulah.

Han Sin memondong tubuh Bi Eng. lalu berlari secepat terbang. Siang malam tiada henti-hentinya ia berlari terus menuju ke Go-bi-san, tempat pertapaan Pek Sin Niang-niang.

"Niang-niang, tolonglah teecu .... tolonglah kalau Niang-niang tidak ingin melihat kami berdua mati ....." Han Sin dengan Bi Eng dalam pondongannya, berlutut sambil memohon-mohon dan menangis di depan pertapa wanita Pek Sin Niang-niang yang bersikap tenang saja.

"Cia-sicu, tak layak seorang gagah mengucurkan air mata. Nona ini siapakah?"

"Oh, Niang-niang..... dia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini..... dia ini ya saudaraku, ya kekasihku, ya satu-satunya orang yang kukasihi dan untuknya aku mau hidup ... Niang-niang, tolonglah kami ....."

"Tenanglah, dan ceritakan mengapa dia sampai terluka seperti itu."

Dengan singkat Han Sin lalu menceritakan segala-galanya tentang Bi Eng yang dulu semenjak kecil ia anggap adik kandungnya, dan tentang segala perasaannya terhadap Bi Eng serta kejadian-­kejadian yang amat merisaukan hatinya akhir-akhir ini. Setelah selesai, Pek Sin Niang-niang lalu memeriksa luka Bi Eng sambil berkata tersenyum,

"Memang kau agaknya ditakdirkan untuk mengalami permainan asmara yang berbelit-belit, Cia-sicu. Nona ini berat lukanya, baiknya kau sudah menghentikan jalan darahnya, kalau tidak, begitu racun menyerang jantung, dia takkan tertolong lagi. Sekarang dia harus banyak beristirahat sambil berobat di sini. Akan tetapi, percayalah, kalau Thian menghendaki, dia akan sembuh."

Bukan main girangnya Han Sin. Ia berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di depan pertapa wanita itu seperti seekor ayam makan padi!

Pek Sin Niang-niang adalah bibi guru dari Raja Obat Phoa Kok Tee. Ilmunya tentang pengobatan amat dalam, apa lagi memang pertapa ini mengutamakan ilmu pengobatan anti racun. Dengan amat teliti ia merawat dan mengobati Bi Eng yang menjadi sadar dari pingsannya pada tiga hari kemudian. Gadis ini amat lemah dan dadanya terasa sakit sekali. Ketika ia sadar dan melihat Han Sin duduk di dekat pembaringannya, ia merengut dan hendak marah-marah. Akan tetapi Han Sin menyabarkannya dan mencegah gadis itu bangun.

"Eng-moi, kau tenang dan mengasolah. Kau terluka hebat oleh Bhok-kongcu, syukur Pek Sin Niang-niang berkenan menolongmu di sini dan memberi obat. Kau harus banyak mengaso ....." Suara pemuda ini lemah-lembut, penuh kasih sayang. Naik sedu-sedan dari dada Bi Eng.

Selama ini memang di dalam dadanya penuh dengan cinta dan rindu kepada pemuda ini, akan tetapi semua perasaan itu ia tekan dan coba matikan sendiri. Ia berusaha sekuat tenaga untuk membenci pemuda ini, dengan menjejalkan pikiran bahwa pemuda ini sudah berlaku tidak patut terhadap Tilana atau yang sebetulnya bernama Kiok Hwa puteri Ang-jiu Toanio. Malah ia meyakinkan dalam hatinya bahwa dia bukan Bi Eng, melainkan Tilana puteri Balita.

Akan tetapi semua usahanya ini selalu gagal, kalah oleh rasa rindu kepada Han Sin, bekas kakak kandungnya. Malah sudah pernah ia memaksa hatinya untuk menerima perintah ibunya, yaitu yang mengikat dia kepada Bhok-kongcu sebagai tunangan. Namun, makin dekat Bhok-kongcu makin bencilah ia kepada Pangeran Mongol itu.

"Kau pergilah ..... kau pergilah ....." akhirnya ia berkata sambil menangis.

Han Sin yang maklum bahwa perasaan gadis itu amat tertekan entah oleh apa, mengalah dan keluar dari kamar itu. Betapapun juga, hatinya lega melihat gadis itu sudah siuman.

Pek Sin Niang-niang muncul ke dalam kamar membawa semangkok bubur hangat. Bi Eng yang melihat wanita pertapa ini, memandang kagum. Ia segera dapat menduga bahwa pertapa inilah yang menolongnya, maka ia lalu mencoba untuk turun dari pembaringan.

"Jangan banyak bergerak, nona. Berbaringlah saja dan kau makanlah bubur ini." Pertapa itu lalu menyuapkan bubur ke mulut Bi Eng. Akan tetapi gadis itu tidak mau menerimanya.

"Apakah ..... apakah kau Pek Sin Niang-niang ......?"

Ketika pertapa itu mengangguk Bi Eng berlinang air mata. "Niang-niang telah menolong nyawa teecu, seharusnya teecu berlutut menghaturkan terima kasih. Bagaimana teecu berani melelahkan Niang-niang untuk merawat teecu seperti ini.

Pek Sin Niang-niang tersenyum ramah. "Aku tidak mengenal apa itu tolong-menolong, anak baik. Manusia hidup harus memenuhi kewajibannya masing-masing dengan sempurna, baru tak percuma hidup di dunia. Kewajibanku saat ini ialah merawat dan mengobatimu, sedangkan kewajibanmu ialah taat pada pinni agar cepat sembuh."

"Tapi ..... tapi ...... harap Niang-niang menyuruh seorang pembantu saja untuk merawat teecu ....." Bi Eng benar-benar merasa malu dan sangat tak enak kalau membiarkan pertapa tua ini turun tangan sendiri merawatnya, seperti menyuapkan makan dan lain-lain.

Pek Sin Niang-niang tertawa girang. Boleh juga bocah ini, pikirnya.

"Boleh, akan kusuruh pembantuku. Akan tetapi kau harus berjanji bahwa kau akan taat dan tidak membantah. Begitu barulah kau seorang anak yang baik."

"Teecu sudah menerima budi, bagaimana berani membantah," Bi Eng menyanggupi.

"Nah, pertama, kau tidak boleh bergerak dan tidak boleh turun dari pembaringan, apapun juga yang terjadi. Ke dua, kau harus menurut segala permintaan pembantuku."

"Baiklah, Niang-niang."

"Dan sekali-kali kau tidak boleh marah-marah. Racun masih ada bekasnya di dalam tubuhmu. Pemuda itu bukan main. Kau dipondongnya ke sini setelah melalui perjalanan empat hari empat malam tiada berhenti-henti." Setelah berkata demikian, Pek Sin Niang-niang meninggalkan kamar itu dan menutupkan daun pintu.

Bi Eng menanti datangnya pembantu pertapa itu yang disangkanya tentu seorang wanita pula. Ketika pintu kamar terbuka, ia melirik dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa yang memasuki kamar adalah .... Han Sin yang membawa mangkok bubur tadi.

"Niang-niang minta kepadaku untuk menyuapkan bubur ini kepadamu ...." kata Han Sin, "Bi Eng, kau makanlah bubur ini agar segera sembuh."

Bi Eng hendak marah, akan tetapi teringat akan pesan Pek Sin Niang-niang, ia menahan diri, hanya mengomel lirih,

"Namaku Tilana, bukan Bi Eng ......"

"Kau tetap Bi Eng bagiku, adik Bi Eng yang baik ...."

Bi Eng terharu. "Aku bukan adik kandungmu ....."

"Aku tahu. Kau makanlah ....." Dan Han Sin lalu menyuapkan bubur ke mulut nona itu yang tak dapat membantah lagi. Setelah bubur itu habis, Bi Eng kelihatan menderita.

"Aduh ...... aduh ..... sakit sekali perutku"

Han Sin sudah diberi tahu oleh Pek Sin Niang-niang tadi, maka ia tidak khawatir, biarpun ia memperlihatkan muka khawatir.

"Ada apakah? Bagaimana rasanya?"

"Perutku sakit, kepalaku pening ..... aahhh ...." Dan tak tertahan lagi, Bi Eng muntah-muntah.

Karena Han Sin duduk di dekat pembaringan, tak dapat dicegah lagi pakaian Han Sin tersembur oleh isi perut yang dimuntahkan Bi Eng. Di antara bubur yang keluar lagi itu, nampak banyak darah hitam!

"Celaka .... aku .... aku mengotorkan pakaianmu ....."

Akan tetapi Han Sin hanya tersenyum, bahkan dengan saputangannya ia lalu membersihkan bibir Bi Eng dan pinggir bantal yang terkena kotoran pula.

"Tidak apa Bi Eng. Memang di dalam bubur diberi obat untuk mengeluarkan darah beracun yang masih berada di dalam perutmu. Sekarang darah itu sudah keluar semua, kaulihat. Ini berarti kau akan sembuh, adikku sayang ...."

"Aku .... aku bukan adikmu .....!”

Biarpun lemah sekali tubuhnya, Bi Eng masih bisa membentak, merengut dan matanya membelalak marah.

"Memang bukan, lebih dari pada adik malah ..." jawab Han Sin tersenyum. "Sekarang kau tidurlah, Bi Eng, tidurlah ..." Dengan lemah-lembut dan penuh kasih sayang, Han Sin membetulkan letak kepala gadis itu pada bantal, lalu menarik selimut sampai ke leher Bi Eng. Gadis itu menarik terus selimut menutupi mukanya dan di dalam selimut terdengar ia mengisak perlahan.

Di kedua mata Han Sin juga tampak dua butir air mata ketika pemuda ini perlahan-lahan meninggalkan kamar untuk berganti pakaian. Demikianlah, dengan amat teliti dan sabar Han Sin merawat Bi Eng di bawah pengawasan Pek Sin Niang-niang, dan sebulan kemudian sembuhlah Bi Eng.

Seperti juga dulu ketika Han Sin berobat di situ, setelah Bi Eng sembuh, pertapa wanita itu tidak kelihatan lagi bayangannya. Kemarin harinya ia sudah memesan Han Sin dan Bi Eng supaya hari itu meninggalkan Go-bi-san, dan pada hari keberangkatan mereka, ia sengaja pergi, tidak bersedia menerima ucapan terima kasih! Han Sin dan Bi Eng hanya berlutut dan dengan suara terharu menghaturkan terima kasih kepada pertapa sakti itu. Lalu mereka turun dari Go-bi-san.

Mereka melakukan perjalanan tanpa banyak bercakap. Memang Bi Eng menjadi pendiam semenjak berobat di Go-bi-san. Tak pernah mau bicara dengan Han Sin, malah selalu menghindarkan pertemuan pandang mata. Anehnya, tiap kali tanpa disengaja pandang mata mereka bertemu, gadis itu tak dapat menahan bercucurnya air matanya!

Setelah menuruni puncak Go-bi-san, Han Sin berhenti dan memegang lengan tangan Bi Eng. la tak tahan lagi didiamkan begitu saja.

"Bi Eng ..... kita harus bicara dari hati ke hati ....."

Gadis itu berdiri di depannya, menundukkan muka. "Bicara apa lagi! Kau sudah mempermainkan aku. Sudah lama tahu aku bukan adik kandungmu, kau diam saja. Kau putera Cia Sun, aku anak Balita. lbuku dan ayahmu musuh besar. Dan kau ... kau ... kau suami Kiok Hwa ...."

"Kiok Hwa siapakah?"

"Yang dulu bernama Tilana, dia anak Ang-jiu Toanio. Kaupun sudah tahu akan hal itu. Kau tahu segalanya, tapi menutup mulut ....."

"Tidak Bi Eng. Tidak demikian. Memang aku tahu bahwa kau bukan adik kandungku. Aku tidak memberi tahu karena ..... karena ...... aku tidak ingin berpisah darimu pula, aku ingin membongkar segala rahasia mengenai dirimu, mengenai hal-hal yang terjadi sebelum orang tuaku meninggal dunia. Terutama sekali ....... aku tidak ingin kehilangan kau dari sampingku karena ..... karena aku cinta padamu, Bi Eng. Aku akan mati kalau kau tinggalkan. Aku cinta padamu."

Bi Eng mengangkat mukanya dan kedua matanya sudah penuh air mata. "Kau bohong ...." bibirnya gemetar, "Kau laki-laki mata keranjang, kau bohong! Kau adalah suami Kiok Hwa ......"

Han Sin menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. "Bi Eng, kau sendiri menjadi saksi betapa aku hampir saja membunuh Tilana .... atau Kiok Hwa itu karena perbuatannya yang tak tahu malu. Entah bagaimana, agaknya dia menggunakan racun dalam minuman yang membuat aku seperti mabok, lebih lagi, seperti gila .... aku tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu aku bangun di sisinya. Kau tahu akan hal ini ... aku tidak cinta padanya. Kaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang kucinta, Bi Eng. Aku sudah menyatakan terus terang kepada Tilana itu ......"

"Tapi ..... tapi ........ kau anak musuh besar ibuku ......."

Han Sin merangkul pundak Bi Eng. "Bi Eng, urusan dahulu tak perlu kita campuri. Aku tahu, aku merasa di dalam hatiku, bahwa kau mencintaiku pula, bukan ..... bukan seperti kakak kandung ....... aku dapat melihat itu di dalam sinar matamu, dahulu sebelum kau tahu akan hal ini. Karena perasaanmu itulah maka kau dulu berusaha menjodohkan aku dengan Tilana. Karena kau takut jatuh cinta kepada kakak kandung sendiri! Bukankah begitu?"

Makin deras air mata membasahi pipi Bi Eng. Mereka berpandangan, cinta dan rindu bergelora memenuhi dada dan akhirnya dua orang muda yang sudah berkumpul semenjak masih kecil itu mengeluarkan jerit tertahan ketika mereka saling rangkul, saling peluk sambil bertangisan.

"Sin-ko .... Sin-ko ..... bagaimana aku bisa membencimu? Kaulah satu-satunya orang di dunia ini bagiku .... kalau saja dulu kau memberi tahu ..... takkan berlarut-larut begini....."

"Eng-moi, kau pujaan hatiku. Kau kurang sabar menanti, Eng-moi. Kau tak tahu betapa tersiksa hatiku itu, menahan-nahan cinta, berpura-pura seperti kakak sendiri. Alangkah sukarnya. Betapa hancur hatiku ketika kau memaksaku dengan Tilana ....."

Disebutnya nama ini mengingatkan Bi Eng akan sesuatu. Cepat ia merenggutkan dirinya atas dada Han Sin.

"Tidak bisa ..... ! Aku anak ibuku! Bagaimana bisa aku mengkhianati ibu sendiri? Ah, Sin­ko, bagaimana ini ..........??”

Han Sin maklum. "Marilah, Bi Eng. Mari kita pergi menemui ibumu. Memang kita harus mengaku terus terang. Biarlah ibumu melihat bahwa permusuhan lama itu kita akhiri dengan ..... perjodohan. Marilah ......"

Terhiburlah hati Bi Eng. Dengan bergandengan tangan mereka lalu pergi ke arah tempat tinggal Balita. Andaikata harus membuat pengakuan seorang diri, agaknya Bi Eng takkan berani. Akan tetapi, berdua dengan Han Sin, ia akan berani menempuh apapun juga.

Ketika mereka tiba di kaki bukit di mana tinggal Balita, tiba-tiba muncul seorang gadis yang membuat kedua merpati ini berdiri seperti patung dan menjadi pucat. Di depan mereka berdiri ...... Tilana atau Kiok Hwa, gadis berkerudung itu. Tilana berdiri dengan muka lebih pucat lagi, ketika dengan tubuh kurus dan mata layu. Tanpa disengaja Bi Eng lalu menggandeng lengan Han Sin, seakan-akan ia takut kalau-kalau Han Sin hendak pergi bersama Tilana.

"Bi Eng, dia bukan kakak kandungmu. Dia itu musuhmu, anak musuh besar ibumu!" Tilana berkata dengan suara lantang.

"Tidak, cici Tilana. Dia memang bukan kakak kandungku, akan tetapi dia bukan musuhku."

Bibir Tilana gemetar. "Keparat ....., kau ..... kau juga mencintainya ......?"

Bi Eng mengangguk berani. "Karena cintaku kepadanya maka dulu aku membantumu dengan sengaja. Kalau dulu aku tahu bahwa dia bukan kakakku sendiri, jangankan membantumu, mungkin pedangku sudah menembusi dadamu!"

Tilana mendekap mukanya dan menjerit lirih. Pernyataan Bi Eng ini merupakan ujung pedang yang sudah menancap dadanya. la sayang kepada Bi Eng, karena merasa berhutang budi. Ketika ia membuka lagi tangan yang menutupi muka, ia menjadi makin pucat. Dengan bingung ia memandangi dua orang di depannya itu.

Lanjut ke jilid 066 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment