Ads

Wednesday, August 29, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 017

◄◄◄◄ Kembali

Ke mana perginya Bi Eng? Kenapa Siauw-ong kembali sendiri ke Cin-ling-san mencari Han Sin? Seperti telah diketahui, Bi Eng terpaksa dengan hati berat meninggalkan kakaknya di puncak Cin­ling-san, pergi bersama Siauw-ong setelah Han Sin memerintahkannya pergi lebih dulu dan menanti di tepi sungai Wei-ho. Tidak karuan rasa hati gadis ini ketika ia menuruni bukit Cin-ling-san

Tak terasa lagi Bi Eng mengucurkan air mata. Ingin sekali ia melompat dan lari mendaki gunung itu kembali untuk melihat kakaknya dan kalau perlu membelanya mati-matian. Namun suara perintah kakaknya masih bergema di telinganya dan ia tidak berani membantah lagi. Pandang mata kakaknya demikian pasti, tak boleh dibantah lagi.

Betapapun juga, ketika ia tiba di kaki gunung hatinya tidak kuat dan tiba-tiba ia berhenti berjalan, lalu menyandarkan diri di pohon dan menangis.

“Sin-ko ..... bagaimana dengan keadaanmu .....?” bisiknya sambil terisak-isak.

Siauw-ong mendekati nonanya dan ikut menangis cecowetan, sambil menarik-narik lengan gadis itu diajak kembali ke atas gunung. Telunjuk tangan monyet itu menuding-nuding ke atas, kadang-­kadang ia mencak-mencak dengan kaki dibanting-banting ke atas tanah menyatakan kemarahannya dan tantangannya kepada para tosu di atas.

“Tidak bisa, Siauw-ong. Kalau aku kembali tentu koko akan marah. Dia begitu baik, tidak boleh marah kepadaku .....” kata Bi Eng.

Kemudian ia mendapat pikiran baik. Kalau dia sendiri yang kembali, tentu kakaknya akan marah. Akan tetapi kalau Siauw-ong yang kembali, biarpun marah, kakaknya itu takkan marah kepadanya. Dan kakaknya perlu kawan, perlu pembantu.

“Siauw-ong, kau kembalilah kesana. Kau cari Sin-ko sampai dapat dan kau ajak dia turun gunung. Aku akan pergi lebih dulu.”

Mendengar ini, Siauw-ong nampak girang, melompat-lompat dan di lain saat ia telah berloncatan ke atas gunung kembali ke puncak.

Bi Eng melihat sampai bayangan monyet itu lenyap, kemudian ia sendiripun melanjutkan perjalanannya, menuju ke sungai Wei-ho di sebelah utara pegunungan Cin-ling-san.

Seorang diri ia melakukan perjalanan itu, cepat-cepat agar lekas sampai di tempat itu di mana ia akan menanti kedatangan kakaknya dan Siauw-ong. Ia, seperti biasa sejak kecil, percaya penuh akan kepandaian kakaknya dan merasa pasti bahwa ia akan ketemu lagi dengan Han Sin.

“Kakakku hebat,” pikirnya, “Tidak bisa ilmu silat akan tetapi sekarang menghadapi bahaya dengan demikian tabah dan tenang. Dia gagah luar biasa.” Hatinya bangga bukan main dan dipercepatnya perjalanan menuju ke sungai Wei-ho.

Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada seorang pemuda yang diam-diam mengikuti perjalanannya, seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali, yang dapat berjalan cepat dan tidak pernah ketinggalan biarpun gadis ini menggunakan ilmu lari cepat.

Berhari-hari Bi Eng melakukan perjalanan, hanya beristirahat untuk bermalam dan makan. Jalan yang dilaluinya adalah jalan liar yang melalui banyak hutan dan bukit kecil. Ia merasa kesepian sekali dan saat inilah, dalam beberapa hari ini, merupakan saat-saat yang paling menyedihkan baginya. Merupakan pengalaman tidak menyenangkan hati yang pertama kalinya. Namun ia seorang gadis yang tabah dan sama sekali tidak mengenal takut biarpun harus bermalam di dalam hutan liar tak berkawan.

Akhirnya sampai juga ia ke sungai Wei-ho. Sungai Wei-ho ini adalah anak sungai besar Huang-ho atau sungai kuning. Biarpun hanya anak sungai, namun cukup besar dan lebar, pula dalam dan airnya mengalir deras. Saking lelahnya, ketika tiba di pinggir sungai ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan bersandar pohon. Dia lelah dan lapar, tengah hari itu amat panas sehingga ia malas untuk pergi mencari makanan. Sejuk juga duduk di bawah pohon di pinggir sungai itu. Tak lama kemudian Bi Eng jatuh pulas.

Pemuda yang semenjak dari kaki gunung Cin-ling-san membayanginya, sekarang muncul dan duduk di atas sebuah batu di depan Bi Eng, paling jauh lima meter.

Pemuda itu duduk dan memandang gadis itu dengan mata penuh kekaguman dan cinta kasih. Makin dipandang, gadis yang tidur itu makin jelita menarik. Memang, di dunia ini orang-orang muda mengenal apa yang disebut “cinta kasih pada pertemuan pertama”.

Sudah jamak kalau seorang pemuda tertarik melihat seorang pemudi cantik jelita atau sebaliknya seorang pemudi tertarik melihat seorang pemuda gagah dan tampan. Akan tetapi tertarik tidaklah sama dengan cinta kasih. Dalam cinta kasih terkumpul semua perasaan yang bermacam sifatnya. Menyayang, tertarik, terharu, kasihan, malu, menghormati dan lain-lain tergantung dari sifat masing-masing. Biasanya seorang pria tertarik oleh wanita karena cantik moleknya, karena tutur bahasanya, atau karena gerak-geriknya. Akan tetapi dalam cinta kasih, ada sesuatu yang mengatasi semua ini, sesuatu yang mendorong orang untuk mencinta, sesuatu yang sudah mencakup semua perasaan di atas, sedemikian rupa pengaruh perasan sesuatu ini sehingga kadang-kadang membutakan orang karena dalam pandang matanya, si “dia” itu selalu tampak baiknya saja sehingga banyak orang tertipu dan terjerumus.

Pemuda tampan itu adalah Phang Yan Bu, putera Ang-jiu Toanio! Juga pemuda ini begitu melihat Bi Eng, terjadilah sesuatu yang ganjil di dalam dadanya. Yan Bu semenjak kecil seorang pemuda pendiam, sama sekali tidak pernah perduli akan gadis-gadis cantik. Bukan karena ia tidak pernah melihat gadis cantik. Yan Bu sudah lama melakukan perantauan dengan ibunya dan di dunia kang­ouw sudah banyak ia melihat gadis-gadis yang cantik jelita, bahkan banyak sudah gadis-gadis cantik jatuh hati kepadanya.

Akan tetapi dia sendiri belum pernah merasakan perasaan seperti yang sekarang ia rasakan begitu ia melihat Bi Eng di kaki gunung itu. Pertemuan ini memang sudah untuk kedua kalinya. Dahulu di kaki gunung Min-san dia sudah melihat Bi Eng, namun sebagai seorang pemuda sopan, ia hanya melirik saja dan tidak begitu memperhatikan. Sekarang, begitu melihat kontan hatinya terikat.

Seperti kita ketahui, Phang Yan Bu bersama ibunya yang duduk dalam kereta dorong, setelah mencari keluarga Cia di puncak Min-san, mendengar dari pelayan bahwa Cia-kongcu dan Cia­siocia bersama seekor kera sudah turun gunung. Ang-jiu Toanio marah-marah, membunuh seorang di antara dua pelayan itu, lalu mengajak puteranya mengejar ke bawah gunung. Akan tetapi mereka kehilangan jejak dua orang muda itu dan karena marah-marah penyakit Ang-jiu Toanio kambuh lagi. Nenek ini muntah-muntah darah dan menyumpah-nyumpah. Yan Bu amat berbakti kepada ibunya, cepat ia menghentikan kereta dorong dan mengurut-urut punggung ibunya.

“Ibu, harap kau suka bersabar dan tenang ....” katanya kasihan.

“Sabar ..... sabar ...., belasan tahun aku bersabar dan kau masih hendak memberi kuliah supaya aku bersabar lagi?” bentak ibunya melotot. Yan Bu terkejut karena belum pernah ibunya ini, biarpun amat galak, marah-marah kepadanya seperti ini.

Ia sudah pernah mendengar dari ibunya bahwa ayahnya, Phang Kim Tek, telah tewas di tangan seorang musuh, yaitu Cia Sun di Min-san, sedangkan guru ibunya, Koai-sin-jiu Bhok Kim telah tewas di tangan Hoa Hoa Cinjin. Ibumya selalu mendendam kepada dua orang ini.

Membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin bukanlah hal mudah, bahkan biarpun dia sudah mendapat gemblengan dari susiok-couwnya, Phoa Kok Tee si Raja Obat, tetap saja ibunya melarang dia mencari Hoa Hoa Cinjin karena takut puteranya belum kuat menandingi kakek yang sakti itu. Adapun Cia Sun pembunuh ayahnya, telah meninggal dunia.

“Ibu, ayah telah meninggal dunia, akan tetapi musuh besarnya, Cia Sun, juga sudah meninggal dunia. Mengapa ibu masih selalu jengkel? Paling perlu anak pergi mencari Hoa Hoa Cinjin untuk membalaskan kematian su-kong (kakek guru). Tentang anak-anak Cia Sun, kurasa mereka itu tidak tahu menahu tentang permusuhan antara ayah dan Cia Sun .....”

“Tutup mulut!” Ibunya membentak makin marah dan “Uwaaahh!” Sekali lagi Ang-jiu Toanio menyemburkan darah hidup. Yan Bu cepat-cepat menolong ibunya dan anak yang berbakti ini menarik napas panjang.

“Ibu sih dulu terlalu terburu nafsu mempelajari Ang-see-chiu, inilah akibatnya.”

Memang, untuk mempelajari ilmu pukulan Ang-see-chiu yang amat beracun ini, sebelumnya orang harus memiliki dasar lweekang yang kuat. Ang-jiu Toanio memang semenjak mudanya berwatak keras dan galak, tidak kenal takut maka tanpa memperdulikan bahaya itu siang-siang sudah mempelajari ilmu pukulan dahsyat itu. Memang akhirnya ilmu ini dapat mengangkat namanya tinggi-tinggi, namun kesehatannya menjadi korban pula, dalam usia tua ia menjadi sakit-sakitan saja.

“Tidak begitu hebat kalau tidak ditambah oleh kelakuanmu!” damprat ibunya. “Yan Bu, pendeknya kau mau menurut permintaan ibumu atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau pergilah, biarkan aku sendiri mencari musuh besar, tak perlu kau bantu!”

“Ibu, bagaimana ibu berkata demikian? Aku adalah anakmu, anak tunggal, tentu saja akan menurut segala permintaan ibu.”

“Nah, kalau begitu, pergilah kau kejar dua bocah she Cia itu. Kejar sampai dapat. Bunuh bocah she Cia yang laki-laki dan tawan yang perempuan bawa kepadaku. Selain itu, yang lebih penting lagi rampas sebuah surat wasiat Lie Cu Seng yang ada pada mereka. Kau tahu, surat wasiat itulah yang kelak akan membantu kita dapat membalas dendam suhuku kepada Hoa Hoa Cinjin.”

Yan Bu mengangguk-angguk, biarpun di dalam hatinya ia tidak dapat menyetujui kehendak ibunya. Anak-anak Cia Sun tidak salah apa-apa, mengapa harus dibunuh? Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah, dia hanya bertanya karena memang heran mendengar ucapan terakhir.

“Bagaimana surat wasiat itu bisa membantu kita, ibu?”

“Kau kira aku tergila-gila akan harta dunia yang tersimpan dalam rahasia surat wasiat itu? Bodoh. Semua orang gagah di dunia kang-ouw mengejar-ngejar surat wasiat itu, berlomba untuk mendapatkannya. Apakah orang-orang gagah menghendaki harta? Sudah lebih dari cukup aku hidup kaya raya dahulu. Yan Bu, dengarlah. Surat wasiat itu menunjukkan di mana adanya harta simpanan Lie Cu Seng dan di antara harta benda itu, terdapat sebuah kitab rahasia ilmu silat ciptaan Tat Mo Couwsu. Siapa mendapatkan dan mempelajari isi kitab, pasti akan menjadi jago silat nomor satu di dunia ini. Nah, setelah mendapatkan pelajaran dari kitab itu, apa sih sukarnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin? Karena itu, lekas kau lakukan tugas ini. Bunuh bocah laki-laki she Cia, rampas surat wasiat dan tawan bocah perempuannya, bawa padaku. Mengerti?”

“Akan kulakukan semua perintahmu, ibu.”

“Berangkatlah sekarang, aku menantimu di I-kiang, aku harus beristirahat. Akan tetapi obat satu-­satunya untuk menyambung usiaku adalah bocah perempuan she Cia dan surat wasiat. Ingatlah ini!”

Demikianlah, dengan hati berat Phang Yan Bu berangkat mengejar Han Sin dan Bi Eng. Jejak dua orang muda dan monyetnya itu tidak sukar ia cari. Memang dua orang muda yang membawa-bawa monyet itu adalah rombongan yang mudah diingat, maka setelah mendapat keterangan dari orang di jalan ke mana arah perjalanan musuh-musuhnya, ia lalu mengejar dan sampai di kaki gunung Cin­ling-san.

Kebetulan sekali pada waktu itu ia melihat Bi Eng berlari seorang diri turun gunung, maka diam-­diam ia mengikuti gadis ini yang sekaligus telah membetot semangatnya, membuat ia ragu-ragu bagaimana harus bertindak terhadap gadis ini. Menangkapnya seperti yang diperintahkan ibunya?

Ah, bagaimana dia bisa berbuat demikian? Laginya yang laki-laki tidak berada di situ. Aku harus bersabar menanti sampai keduanya berkumpul, pikirnya.

Hari telah menjadi senja ketika Bi Eng mengulet dan membuka matanya. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, baru terheran hatinya ketika melihat bahwa yang menutupi tubuhnya adalah sehelai jubah luar yang lebar dan tebal. Pemandangan pertama ini sudah mengherankannya, akan tetapi penglihatan ke dua amat mengejutkannya. Di depannya, hanya dalam jarak dua meter, menggeletak seekor bangkai harimau besar yang masih mengucurkan darah dari lehernya yang terluka lebar bekas bacokan. Seketika gadis ini melompat bangun dan ..... ia berhadapan dengan seorang pemuda tampan yang berdiri memandangnya dengan kagum.

“Apa ..... apa .... kenapa ....., siapa kau?” serunya kaget sambil melompat ke depan dan memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.

Untuk sejenak Yan Bu tak dapat menjawab, terlalu terpesona oleh sepasang mata yang amat indah seperti bintang pagi dalam pandangan matanya itu. Akhirnya, dengan gagap ia menjawab juga,

“Aku ....... aku Phang Yan Bu.”

Merah wajah Bi Eng. Dia seorang gadis yang lincah, jujur, dan terbuka hatinya. Akan tetapi dengan sikapnya barusan, seolah-olah sebagai seorang gadis ia lebih dulu menanyakan nama orang, benar-­benar memalukan.

“Siapa tanya namamu?” katanya cemberut.

Makin kagum Yan Bu. Gadis ini dalam segala gerak-geriknya terlalu manis menarik, ketika tidur, kaget dan cemberut, selalu makin manis! Ditegur oleh gadis itu, ia makin bingung.

“Aku ... aku hanya menjawab, bukankah nona tadi menanyakan?” katanya sambil tersenyum.

“Jangan pringas-pringis (menyeringai)! Aku tidak tanya nama, kumaksudkan .... kenapa kau di sini, dan ... dan selimut ini, ... bangkai harimau itu? Siapa menyelimuti aku?”

“Aku ......”

“Kenapa??”

“Nona tidur kelihatan kedinginan, angin amat .... besar .....”

“Siapa bunuh harimau ini?”

“Aku .....”

“Kenapa?”

“Dia hendak menubruk nona yang sedang tidur, aku menggunakan golokku membunuhnya.”

“Hemmmm ....”

“Ya ......., begitulah ........”

Keduanya terdiam, sukar untuk mulai bicara. Entah mengapa, Bi Eng yang biasanya lincah itu, sekarang kehilangan keterampilan lidahnya. Pandang mata pemuda itu terlalu tajam, seakan-akan hendak menjenguk isi hatinya, membuat dia bingung.

“Kalau begitu, terima kasih,” akhirnya ia berkata perlahan.

“Mengapa berterima kasih?”

“Untuk .... untuk selimut dan harimau .......”

Bi Eng menarik napas lega, dia sudah berterima kasih jadi tidak hutang budi lagi dan ini membuat ia lebih bebas rasanya. Ia lalu duduk lagi di atas akar pohon. Juga Yan Bu yang tadinya berdiri, kini duduk lagi di atas batu, entah bagaimana, dia merasa girang bukan main. Belum pernah selama hidupnya, ia merasai kesenangan hati yang hanya bisa dirasa oleh dia sendiri.

Bi Eng tak sengaja menyentuh jubah yang tadi menyelimuti dirinya. Wajahnya menjadi merah dan ia mengambil jubah itu, digulungnya lalu berkata,

“Nih jubahmu, kukembalikan!”

Ia melemparkan gulungan jubah itu sambil mengerahkan tenaga ke arah pemiliknya. Ia hendak menguji dan tidak mempunyai maksud buruk karena ia tahu bahwa orang yang telah membunuh seekor harimau tentulah berkepandaian. Benar saja, sambil tersenyum Yan Bu menyambut timpukan itu dan tidak merasa berat ketika menerimanya. Bi Eng menatap wajah yang tampan itu dan keningnya berkerut. Tiba-tiba ia melompat.

“Heee! Kau ....?” Ia menuding dengan telunjuknya.

YAN BU kaget dan meloncat bangun pula. Ia merasa nona ini amat aneh dan lucu gerak-geriknya. Dalam gugupnya, ia menjawab sambil menuding ke arah hidungnya sendiri.

“Ya, ini aku, ada apa?”

“Kau .... kau pemuda yang mendorong kereta nenek sakit itu!”

Yan Bu tersenyum melebar, lalu membungkuk. “Betul, nona. Terima kasih bahwa sekali bertemu, ternyata nona masih ingat kepadaku.”

“Cih, siapa yang mengingat-ingat kau? Siapa kau dan kenapa kau berada di sini?”

“Aku Phang Yan Bu, nona dan ......”

“Aku sudah tahu! Sekali aku mendengar namamu Phang Yan Bu, kau kira aku sudah lupa dan harus diulang-ulang?”

Yan Bu membungkuk lagi. “Terima kasih banyak, nona. Sekali mendengar namaku, ternyata kau tidak bisa lupa lagi ......”

“Gila! Jangan main-main kau. Aku tidak bermaksud berkenalan denganmu, biar seratus kali kau memperkenalkan nama, aku tidak akan memperkenalkan diri padamu. Aku hanya akan bertanya ......”

“Tidak perlu memperkenalkan diri, karena aku sudah tahu siapa nona. Namamu Cia Bi Eng, bukan? Nama yang amat indah .....”

Bi Eng tertegun. Untuk sejenak ia menjadi bingung oleh serangan ini, akan tetapi ia bisa menenangkan hatinya.

“Kenapa kau mengikuti aku ke sini? Apa maumu? Kau mendorong kereta nenek sakit, kenapa kau pergi meninggalkan nenek mau mampus itu?”

“Dia ibuku, nona .....” kata Yan Bu dengan suara berduka.

Bi Eng terharu. Seorang pemuda mendorong-dorong ibunya dalam kereta, benar berbakti. Akan tetapi mengapa ditinggalkan? Dalam keharuannya ia kecewa.

“Lebih-lebih dia ibumu! Tak boleh ditinggalkan.”

“Justru ibu yang menyuruh aku datang ke sini, nona Cia.”

“Ibumu sakit dan lemah , malah minta ditinggalkan? Benar aneh .....”

“Ibuku biar sakit, tapi dia bukan orang biasa, nona. Di dunia kang-ouw, ibuku dijuluki orang Ang­jiu Toanio dan .... “

“Setan ......!!” Bi Eng melompat dan mencabut pedangnya. “Kiranya kau anak dia?”

Yan Bu bingung dan menengok ke kanan kiri. “Mana setan ....? Siapa yang kau maki tadi?”

“Maki siapa lagi kalau bukan kau! Jadi, kau anak Ang-jiu Toanio ? Bagus, bagus. Sudah dapat dipastikan kau tidak bermaksud baik datang ke sini!”

“Bagaimana nona bisa tahu?” Yan Bu khawatir sekali melihat sikap gadis yang membetot semangatnya ini sekarang memusuhinya.

“Ibumu adalah pembunuh ayah bundaku!”

Yan Bu melengak, memandang bodoh dan sampai lama tidak bisa menjawab. Bi Eng menjadi tidak sabar dan menggerak-gerakan pedangnya di depan dadanya.

“Hei, jangan melongo seperti kerbau! Ang-jiu Toanio itu adalah seorang di antara para pembunuh ayah bundaku di Min-san, kau tahu? Aku harus membalas dendam, dan karena kau anaknya, kedatanganmu tentu bukan bermaksud baik, maka aku akan membunuhmu lebih dulu!”

“Sabarlah, nona. Kurasa keadaannya terbalik. Bukan ibu yang membunuh ayah bundamu, sebaliknya ayahmu yang bernama Cia Sun adalah pembunuh ayahku, Phang Kim Tek di I-kiang. Kenapa nona bolak-balikkan perkara?”

“Heh, siapa tidak tahu bahwa ayahmu, Phang Kim Tek tuan tanah di I-kiang yang kejam dan busuk itu terbunuh oleh mendiang ayahku? Andaikata ayahmu bernyawa dua, sekarang akupun tentu akan membunuh nyawanya yang satu lagi itu karena kekejamannya.”

Yan Bu menarik napas panjang. Ia bukan tidak tahu akan keadaan ayah bundanya di waktu dahulu, karena dia cerdik dan sering kali menyelidiki keadaan orang tuanya sendiri. Diam-diam ia menyesal akan kesesatan ayahnya dahulu.

“Nona Cia, sesungguhnya, ibu menyuruh aku menuntut balas atas kematian ayahku. Akan tetapi, bagiku sendiri, kematian ayahmu sudah menutup dan menghabiskan semua permusuhan. Aku tidak bermaksud memusuhi anak-anaknya. Cuma saja ...... menuruti perintah ibu ....., kau harap suka ikut aku menemui ibu dan membawa surat wasiat Lie Cu Seng ....”

“Jangan banyak cakap! Siapa percaya omonganmu? Lihat pedang!”

Bi Eng menyerang dengan sebuah tusukan kilat. Melihat datangnya serangan yang hebat ini, Yan Bu cepat melompat ke belakang.

“Nona, percayalah, aku tidak .... tidak suka bertempur denganmu .....”

“Pengecut, keluarkan senjatamu!”

Lagi-lagi Bi Eng menyerang, pedangnya menyambar secepat kilat. Kembali Yan Bu mengelak sampai tiga kali sambil berkata sedih.

“Nona Bi Eng, sungguh-sungguh aku tidak suka bermusuhan dengan engkau .....”

“Orang she Phang! Di mana kejantananmu? Aku tidak sudi membunuh seorang pengecut yang tidak melawan. Apa benar-benar kau takut melihat pedang ini?”

Betapapun berat rasa hati Yan Bu harus bertanding senjata dengan nona yang diam-diam telah meruntuhkan hatinya itu, mendengar sindiran ini ia tidak kuat menahan. Dia berjiwa gagah dan tidak takut mati, maka ia segera meloloskan goloknya dan berkata sambil menjura.

“Biarlah, aku yang bodoh minta petunjuk nona Cia yang perkasa.”

“Cih, banyak dongeng!” seru Bi Eng sambil memutar pedangnya dan di lain saat, dua orang itu sudah bertempur seru sekali.

Bi Eng adalah murid Ciu-ong Mo-kai yang sudah mewarisi ilmu silat Liap-hong Sin-hoat yang amat lihai, tentu saja ilmu silatnya ini adalah ilmu silat tinggi yang sukar dilawan. Namun di lain pihak, Yan Bu adalah murid tunggal dari Yok-ong Phoa Kok Tee. Ilmu silatnya lihai sekali dan tenaga lweekangnya juga sudah sempurna. Bi Eng yang terlambat belajar silat, kurang latihan dan kurang pengalaman, selain ini tentu saja kalah tenaga.

Tadinya Yan Bu terkesiap dan kaget serta kagum melihat gerakan pedang nona itu yang mainkan jurus-jurus Liap-hong Sin-hoat yang tidak dikenal oleh Yan Bu. Belum pernah pemuda ini melihat ilmu pedang sedemikian indah dan hebatnya. Akan tetapi setelah dilawannya selama lima puluh jurus lebih, ia mendapat kenyataan bahwa betapapun lihai ilmu pedang gadis itu, ternyata Bi Eng kurang latihan dan kurang tenaga. Maka kalau dia mau, dengan mudah saja ia dapat merobohkan gadis itu.

Justru Yan Bu tidak mau merobohkan Bi Eng, tidak sampai hati ia mengalahkan gadis itu. Tidak tega ia melihat gadis itu kalah olehnya dan menjadi malu karenanya, apalagi sampai melukainya. Lebih baik dia sendiri yang terluka dan kalah! Memang, cinta bisa memutar balik jalannya keadaan.

Setelah pertempuran itu berlangsung hampir seratus jurus, biarpun Bi Eng masih kurang pengalaman dan kurang latihan, gadis itu dapat maklum bahwa pemuda ini tidak berkelahi secara sungguh-sungguh. Hal ini menambah kemarahan dan penasaran hatinya tanpa mengenal lelah ia mempercepat serangan-serangannya. Keringat sudah membasahi leher dan jidatnya dan napasnya mulai terengah-engah. Yan Bu tidak tega melihat ini dan pada suatu saat, ia sengaja membiarkan pedang gadis itu “memakan” ujung pundaknya. Ia memekik kesakitan, goloknya menangkis dan pedang gadis itu patah!

Sambil mendekap pundak kirinya yang terluka berdarah, Yan Bu melompat mundur dan berkata,

“Nona Cia, hebat ilmu pedangmu, aku Phang Yan Bu mengaku kalah!”

Akan tetapi, gadis itu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis! “Kau bunuhlah aku! Tak usah banyak cerita, angkat golokmu dan bunuhlah aku, siapa takut mampus?”

Yan Bu melongo. Ia anggap sikap gadis ini lucu dan aneh. Ia melangkah maju dan berkata halus.

“Cia-siocia, kau telah melukai pundakku, kau lebih menang dariku, mengapa kau bersikap begini? Aku sudah kalah olehmu dan aku mengakui kekalahanku ini ...”

“Siapa sudi kau permainkan? Kau sengaja mengalah, apa kau kira mataku buta? Hemmm, manusia sombong, kalau kakakku berada di sini dan memberi petunjuk padaku, jangan kira dengan ilmu golok cakar ayammu itu kau akan mampu mengalahkan aku!”

Yan Bu menarik napas panjang, berduka sekali. “Memang, memang aku mengalah, akan tetapi terus terang saja, kau kurang latihan dan kurang tenaga. Agaknya kau belum lama mempelajari ilmu silat. Kalau kau cukup terlatih dan cukup tenaga terus terang saja ilmu pedangmu tadi tak sanggup aku melawannya. Nona, memang aku hendak mencari kakakmu, hendak kurundingkan dengan dia supaya kita, biarpun orang tua kita saling bermusuhan, kita sebagai anak-anaknya jangan melanjutkan permusuhan yang berlarut-larut ini. Aku ...... aku tak sanggup bermusuh dengan kau .....”

Lanjut ke jilid 018 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment