Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 049

◄◄◄◄ Kembali

Tentu saja dalih-dalih yang ditonjolkan oleh Pangeran Yong Tee untuk menggugah sikap perlawanan para enghiong ini adalah untuk membela tanah air dan bangsa dari pada penindasan orang-orang Mongol yang terkenal kejam. Malah dikeluarkannya dalih bahwa Bangsa Mancu adalah Bangsa Tiongkok juga, dan karena itulah maka orang-orang Mancu bersiap sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi tanah air Tiongkok dari pada penindasan siapapun juga. Orang-orang gagah itu digali ingatannya akan penderitaan rakyat selama dijajah oleh orang Mongol.

Dengan propaganda-propaganda yang dilakukan amat pandai inilah Pangeran Yong Tee berhasil menarik bantuan banyak orang kang-ouw. Tentu saja di pihak Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan di Mongol, juga tiada hentinya menyebar propaganda untuk merobohkan penjajah Ceng, untuk mengusir orang-orang Mancu dari Tiongkok dan dengan jalan ini Bhok-kongcu juga berhasil pula menarik bantuan orang-orang gagah Bangsa Han sendiri.

Dengan demikian, maka dua orang tokoh pandai ini, Pangeran Yong Tee dari Mancu, Pangeran Galdan dari Mongol, selain menggunakan bala tentara sendiri masing-masing, juga telah memecah belah orang-orang Han untuk saling bertempur dan berperang sendiri, sepihak membantu Mancu, lain pihak membantu Mongol!

Bangsa yang melupakan persatuan, tentu akan lemah sekali, demikian pula keadaan Bangsa Han di Tiongkok di jaman dahulu. Selalu cakar-cakaran, selalu bunuh-membunuh dan bertempur di antara mereka sendiri. Perang saudara susul-menyusul, rakyatnya sampai bingung dan sengsara dipermainkan nafsu-nafsu berkuasa para pemimpin.

Dalam keadaan rakyat saling cakar di bawah pimpinan pembesar-pembesar yang memperebutkan kekuasaan ini, keadaan negara menjadi lemah dalam arti menghadapi ancaman dari luar. Kalau tidak demikian halnya, kalau rakyat bersatu padu, kekuasaan apakah di dunia ini yang dapat mengalahkan Tiongkok yang begitu banyak rakyatnya?
Akan tetapi, karena tidak adanya persatuan sepanjang masa inilah, maka pernah Bangsa Mongol menjajah Tiongkok sejak penyerangan pertama sampai berakhirnya Kerajaan Mongol selama dua ratus tahun! Dan itu pulalah yang menjadikan sebab mengapa Bangsa Mancu sampai dapat menjajah Tiongkok selama tiga ratus tahun!

Sepanjang keterangan yang diperoleh Bi Eng, pertempuran sudah terjadi di sekitar daerah Ta-tung di bagian utara. Berkali-kali pihak Mongol hendak menerobos ke selatan melalui beberapa tempat dan selalu mereka itu dapat dipukul mundur oleh pihak Mancu. Ta-tung dijadikan pusat pertahanan Mancu dan di sinilah berkumpul "sukarelawan-sukarelawan" bangsa Han seperti Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain. Malah kabarnya Pangeran Yong Tee sendiri seringkali dari kota raja datang ke Ta-tung untuk memeriksa keadaan dan memimpin sendiri siasat peperangan.

Bi Eng bertempat tinggal bersama Li Goat dan Li Hoa dan dalam pergaulannya dengan mereka selama beberapa hari ini, tahulah Bi Eng bahwa ada "apa-apanya" di antara Li Goat dan Phang Yan Bu. Diam-diam ia merasa girang dan bersyukur karena iapun mengerti bahwa dulu Phang Yan Bu menaruh perhatian kepada dirinya.

Akan tetapi dia sendiri sampai sekarang tak dapat membalas cinta kasih setiap orang pria. Hanya kepada Pangeran Yong Tee ia mempunyai perasaan yang mesra, akan tetapi inipun mungkin hanya karena tertarik oleh sikap pangeran itu yang amat baik dan sopan kepadanya dan dia sendiri tidak berani menentukan apakah ia mencinta pangeran itu ataukah tidak.

Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat ketika datang seorang tentara Mancu dengan terengah-engah orang ini berkata kepada Li Hoa,

"Thio-lihiap, ada seorang muda mengamuk di luar kota dan menurut pengakuannya dia sudah mengenal Thio-lihiap."

Bi Eng dan Li Hoa bertukar pandang Li Hoa segera bertanya, "Bagaimana orangnya?"

"Dia masih muda, tampan dan naik gerobak, menjadi pengawal barangnya Lie Ko Sianseng ....."

"Sin-ko ....." kata Bi Eng yang segera meloncat dan berlari keluar untuk menjemput kakaknya. Yang lain-lain sambil tertawa juga berlari mengejarnya.

Demikianlah, mereka menyaksikan betapa Han Sin berdiri tegak di atas gerobak, dikurung oleh banyak tentara dan orang-orang gagah. Malah melihat keadaannya, tentu sudah ada yang berkenalan dengan kelihaian pemuda itu.

Seperti sudah dituturkan di bagian depan, Bi Eng memanggil kakaknya dan Han Sin girang bukan main melihat kedatangan Bi Eng, Ciu-ong Mo-kai, Phang Yan Bu, Li Hoa dan seorang gadis yang tak dikenalnya. Tentu mereka akan dapat melepaskan, dia dari pengurungan yang tak enak ini.

"Sin-ko, mana Siauw-ong?" Bi Eng yang tak sabar lagi sudah meloncat naik ke atas atap gerobak dan memegang lengan kakaknya.

Berdebar jantung Han Sin mendengar pertanyaan ini dan kembali terbayang di depan matanya pengalaman yang baru saja ia alami bersama Tilana! Bagaimana ia bisa menceritakan semua itu kepada Bi Eng? Mukanya menjadi merah sekali. Ia merasa malu dan jengah.

Alangkah lemahnya, biarpun di dalam hati yakin bahwa wanita satu-satunya yang ia cinta hanya Bi Eng, namun begitu bertemu dengan Tilana yang cantik jelita, yang begitu mencintainya, kembali pertahanan batinnya runtuh! Ia merasa telah mengkhianati, telah mencurangi, telah berlaku tidak setia kepada Bi Eng.

"Sin-ko, mana dia? Mana Siauw-ong? Apa yang telah terjadi dengan dia? Apakah dia tak dapat sembuh?" Dalam hujan pertanyaan ini terkandung isak tertahan dan kegelisahan.

"Jangan khawatir Eng-moi. Siauw ong sudah sembuh."

"Tapi mana dia?"

Han Sin yang merasa hangat hatinya karena dapat merasai pegangan tangan Bi Eng yang malah memeluk dan mengguncang-guncangnya dalam kegelisahannya akan Siauw-ong, menghiburnya dan berkata lirih, "Ssttt, nanti kuceritakan, semua. Lihat, kita menjadi tontonan orang disini. Lebih baik lekas menghadap suhu."

Baru Bi Eng teringat bahwa mereka bukan hanya berdua saja di situ. Banyak sekali mata orang memandang ke arah mereka, sebagian besar tidak sabar melihat adegan kakak dan adik ini. Sambil menggandeng tangan Bi Eng, Han Sin meloncat turun dari atap gerobak, langsung menghadap Ciu­ong Mo-kai dan memberi hormat.

Untuk beberapa detik sinar mata Ciu-ong Mo-kai bersinar kagum dan penuh keriangan melihat pemuda itu yang sudah banyak ia dengar semenjak mereka berpisah. Diam-diam kakek ini seringkali merasa geli hatinya betapa dulu ia sering kali putus harapan melihat Han Sin sebagai kutu buku yang membenci ilmu silat!

Baru setelah ia mendapatkan kesempatan melihat pemuda itu melatih lweekang secara aneh luar biasa di dalam kamarnya, kakek ini mendapat kenyataan bahwa tanpa disadari, pemuda itu telah melatih diri menjadi seorang ahli silat yang luar biasa. Dugaannya ternyata benar karena iapun sudah mendengar akan sepak terjang Han Sin yang amat ajaib, merobohkan orang-orang terkemuka dan semua itu dilakukan tanpa disadari.

Kemudian ia mendengar pula betapa pemuda ini sudah memasuki gua dan menjadi ahli waris dari kitab peninggalan Lie Cu Seng, maka sudah sewajarnya kalau kakek ini merasa kagum dan juga bangga. Bukankah dia sendiri orangnya yang pertama-tama melatih pemuda ini?

Betapapun juga, karena semua kehebatan itu hanya didengarnya saja dari orang lain dan tak pernah ia sendiri menyaksikannya, maka ia masih merasa ragu ragu. Han Sin masih kelihatan sederhana seperti dulu, halus dan merendah, hanya sepasang mata yang dulu sinarnya berkilat seperti mata harimau di dalam gelap, sekarang menjadi makin kuat dan berpengaruh, akan tetapi penuh ketenangan.

"Han Sin, betulkah bahwa kau mengawal barang-barang Lie Ko Sianseng dan apa sebabnya kau ribut-ribut dengan mereka ini?" tanya Ciu-ong Mo-kai, terheran juga mengapa pemuda ini mau membantu Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa.

"Betul suhu. Lie Ko Sianseng telah berhasil membantu teecu mencarikan obat untuk Siauw-ong sampai sembuh dan teecu sudah berjanji untuk membalas budinya dengan mengantar dua peti ini ke Ta tung. Biarpun tadi teecu mendengar bahwa dia adalah mata-mata Mongol, akan tetapi janji teecu tak mungkin dapat teecu langgar sendiri. Barang-barang ini harus teecu lindungi sampai ada orang yang berhak menerimanya," jawab Han Sin, suaranya tegas karena pemuda ini sedikit banyak merasa tidak senang bahwa orang tua yang ia hormati itupun di sini membantu pemerintahan Ceng.

"Siapakah dia yang berhak menerima?" tanya Ciu-ong Mo-kai.

"Teecu belum tahu. Menurut Lie Ko Sianseng, di Ta-tung akan ada orang yang menerimanya."

Orang-orang di situ makin ribut. Terdengar suara-suara memprotes, "Dia tentu mata-mata Mongol! Dia kaki tangan Lie Ko Sianseng! Tangkap .....!"

Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak, lalu menghadapi para tentara Ceng dan para pengemis kang-ouw,

"Kalian lihat siapa dia? Dia ini adalah muridku, orang sendiri!"

Akan tetapi orang-orang di situ masih ribut, akhirnya Bi Eng tak sabar lagi dan membentak,

"Siapa berani mengganggu kakakku? Dengar, dia adalah gite (adik angkat) dari Pangeran Yong Tee. Hayo, siapa berani mengganggunya?"

Suara ribut-ribut itu serentak berhenti dan semua orang memandang dengan heran dan terkejut.

"Eng-moi ......" Han Sin menegur adiknya. Tak senang ia diperkenalkan sebagai adik angkat Yong Tee, Pangeran Mancu penjajah itu.

Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan lima orang perwira Mancu datang dengan cepat di atas kuda mereka. Melihat pakaian mereka,lima orang tersebut adalah perwira-perwira dari pasukan pengawal pribadi kaisar. Mereka langsung menghampiri Han Sin setelah turun dari kuda, dengan sikap hormat seorang di antara mereka berkata,

"Pangeran muda mengirim salam Cia-taihiap dan minta maaf bahwa penyambutan atas pengiriman dua peti dari Lie Ko Sianseng agak terlambat."

Semua orang terkejut dan heran mendengar ini. Bagaimana pula ini? Lie Ko Sianseng terkenal sebagai mata-mata atau kaki tangan Bhok-kongcu, kenapa sekarang mengirimkan dua peti yang agaknya akan diterima oleh utusan pangeran muda atau Pangeran Yong Tee sendiri? Tidak hanya mereka yang mengerti akan keadaan peperangan menjadi heran, bahkan Han Sin menjadi ragu-ragu.

"Bagaimana aku bisa yakin bahwa dua buah peti ini harus kuserahkan kepada kalian?" tanya Han Sin dan ia sudah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa apapun yang akan terjadi, kalau tidak ada tanda surat kuasa dari Lie Ko Sianseng sendiri, dia takkan mau memberikan dua peti yang sudah diserahkan ke dalam perlindungannya itu.

Perwira tadi tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah lipatan kain. "Lie Ko Sianseng tidak keliru mengutus taihiap, karena memang taihiap amat hati-hati. Inilah surat kuasa dari Lie Ko Sianseng."

Han Sin menerima kain bertulis itu yang berbunyi bahwa Lie Ko Sianseng memberi kuasa kepada pembawa surat untuk mengambil dua peti batu. Han Sin mengerutkan kening. Batu? Benarkah dua peti itu berisi batu? Kenapa dianggap benda berharga dan kenapa sampai dijadikan rebutan?

"Kuharap kalian tidak keberatan kalau aku cocokkan dulu isi surat dengan isi peti," katanya kemudian mengambil keputusan.

Perwira itu tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Silakan ..... silakan memang pangeran muda juga memerintahkan kami untuk memeriksa lebih dulu apakah isi peti-peti itu tidak palsu."

Han Sin lalu memasuki gerobaknya, dengan sekali renggut saja papan penutup peti terbuka dan alangkah mendongkol dan herannya ketika ia melihat bahwa betul saja, dua peti itu terisi batu-batu besar yang tidak berharga. Diam-diam ia memaki Lie Ko Sianseng yang dianggap telah mempermainkannya. Sebaliknya, lima orang perwira itu nampak puas, mereka membantu Han Sin menutup kembali peti-peti itu dan setelah menghaturkan terima kasih kepada Han Sin, mereka lalu memerintahkan sepasukan tentara mengawal gerobak berisi dua peti itu ke kota raja!

Malam itu Han Sin dijamu oleh Phang Yan Bu dan melihat pemuda ini marah-marah kepada Lie Ko Sianseng, Ciu-ong Mo-kai tertawa, "Kau tidak tahu! Lie Ko Sianseng benar-benar lihai sekali. Pedagang tetap pedagang, dalam perang maupun damai. Di sana ia mencatut, di sini ia mencatut. Ha, ha, ha!"

Han Sin tidak mengerti. "Apakah artinya ini semua, suhu? Dan setelah sekarang tidak ada orang luar, teecu mohon penjelasan mengapa suhu dan orang-orang gagah yang lain datang ke tempat ini membantu pemerintah penjajah?"

Yang berkumpul di situ hanyalah Ciu-ong Mo-kai, Hee Tojin, dua orang tosu Cin-ling-pai, dua orang tokoh pengemis kang-ouw, Thio Li Hoa, Thio Li Goat, Phang Yan Bu, dan Bi Eng bersama Han Sin sendiri. Setelah meneguk araknya, Ciu-ong Mo-kai menjawab perlahan,

"Aku maklum apa yang kau pikirkan, Han Sin. Tentu kau merasa heran dan penasaran kenapa kita membantu Pemerintah Mancu. Akan tetapi, jangan kaukira bahwa kita membantu untuk berkhianat kepada bangsa, menghambakan diri kepada penjajah. Sama sekali tidak, Han Sin. Ketahuilah bahwa jauh lebih celaka dan berbahaya apabila orang-orang Mongol itu sampai mengalahkan Pemerintah Mancu dan menjajah kembali di tanah air kita. Kita tidak punya pilihan lagi. Kalau dalam waktu Mongol dan Mancu berperang kita melanjutkan usaha menggulingkan Pemerintah Mancu, itu sama saja artinya dengan kita membantu Mongol dan amatlah berbahaya kalau sampai bala tentara Mongol dapat menyerbu ke pedalaman. Jauh lebih baik kalau kita membantu Pemerintah Mancu lebih dulu mengusir orang-orang Mongol yang amat kejam. Kelak mudah untuk mencari jalan merampas kembali negara dari penjajah Mancu yang harus diakui tidak sehebat orang Mongol menindas rakyat, bahkan ada usaha-usaha yang baik dari pemerintah baru ini."

Panjang lebar Ciu-ong Mo-kai memberi penjelasan kepada Han Sin, akan tetapi orang muda ini mendengarkan dengan penasaran. Ia masih muda dan belum mengerti betul akan siasat-siasat dan politik. Sebagai seorang gagah ia tidak bisa berpura-pura, maka kinipun ia tidak setuju dengan tindakan orang-orang gagah itu.

"Bagaimanapun juga, penjajah tetap musuh, bagaimana aku dapat membantunya, mengeluarkan keringat dan darah untuk membantunya?" bantahnya penasaran.

Semenjak dulu, Ciu-ong Mo-kai sering kali dibikin jengkel oleh sikap Han Sin yang dianggapnya kutu buku yang merasa pintar sendiri. Sekarang mendengar bantahan Han Sin, kakek ini menenggak araknya sampai terdengar bunyi menggelogok pada kerongkongannya kemudian ia menurunkan gucinya dan berkata,

"Murid yang tidak mendengar kata kata gurunya itu melanggar peraturan namanya!"

Dalam ucapan ini Ciu-ong Mo kai menyinggung Han Sin menggunakan ujar-ujar kuno.
Han Sin adalah seorang ahli sastera, seorang yang amat memperhatikan segala macam filsafat kuno, maka segera ia menjawab dengan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu,

"Dalam membela kebenaran, tak perlu mengalah kepada guru!"

Tentu saja Ciu-ong Mo-kai yang tidak begitu hafal akan ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu, marah mendengar ini, merasa dihina dan tidak dihormati sebagai guru. Tangan kirinya menepuk meja dan .... amblaslah keempat kaki meja itu sampai satu dim lebih ke dalam lantai! Bukan main hebatnya tenaga lweekang kakek ini.

"Bagus .....! Kalau sudah tidak mau mengaku guru kepadaku, sudahlah! Perlu apa harus ditonjol-­tonjolkan menyolok mataku? Siapa tidak tahu bahwa Cia Han Sin, yang dulu pernah belajar dari Ciu ong Mo-kai, sekarang sudah memiliki kepandaian tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada si pengemis tua bangka? Ha, ha, ha!"

"Suhu .....!" Bi Eng berseru. "Harap suhu maafkan Sin-ko ......”

"Ha, ha, ha ...... Bi Eng, kau baru patut menjadi muridku ......” kata kakek itu tertawa-tawa dan minum lagi araknya. Semua orang, yaitu Phang Yan Bu, Li Hoa, Li Goat, para tosu dan semua yang hadir, tidak ada yang berani mencampuri urusan ini, tidak ada yang bergerak.

"Sin-ko, kenapa kau bersikap begini terhadap suhu? Sin-ko, harap kau suka minta maaf dari suhu."

Han Sin bangkit berdiri dari kursinya, tersenyum pahit. "Eng-moi, aku memang seorang murid yang murtad, seorang yang tak mengenal aturan. Akan tetapi, tetap saja aku belum sampai hati untuk mengekor kepada penjahat laknat. Suhu Ciu-ong Mo-kai, pendirian teecu bukan sebagai seorang murid kali ini, melainkan sebagai seorang yang mencinta tanah air yang terjajah. Maafkan sikap teecu kalau suhu anggap tidak betul. Nona Thio Li Hoa, harap kau suka mengawani Eng-moi, kau tahu bahwa aku mempunyai tugas yang sudah kujanjikan. Kau di sinilah dulu bersama nona Thio Li Hoa, setelah dia dapat kutemukan, aku akan menjemputmu dan bersama pergi dari tempat ini!"

Dalam suara pemuda ini terkandung penyesalan besar. Memang ia amat kecewa dan menyesal. Dianggapnya bahwa orang-orang gagah yang sudah membantu Pemerintahan Mancu itu tidak mempunyai pendirian. Kalau saja mereka itu bangkit untuk melawan penjajah, baik penjajah Mongol maupun Mancu, tentu ia akan siap sedia membantu, rela mengorbankan jiwa raganya.

Bi Eng juga berduka sekali melihat keadaan kakaknya ini. Ia tidak berani mencegah karena maklum bahwa kakaknya, berbeda dari pada biasanya, sedang marah sekali. Ia tahu pula bahwa kakaknya itu tentu akan pergi mencari Hoa ji seperti yang dipesankan oleh Pangeran Yong Tee. Mencari seorang di daerah musuh, di utara, bukanlah merupakan tugas ringan, bahkan amat berbahaya. Kalau ia ikut, belum tentu ia dapat membantu, jangan-jangan malah merintangi gerakan Han Sin.

"Baiklah, Sin-ko. Kau hati-hatilah, akan tetapi, mana Siauw-ong?"

"Dia..... dia..... aku bertemu dengan Tilana di jalan dan Siauw-ong dibawanya. Kelak kita pergi mengambilnya.”

Setelah berkata demikian, Han Sin yang tidak menghendaki adiknya itu mendesak terus dan memaksanya menceritakan pertemuannya dengan Tilana, sudah berkelebat dan hanya nampak bayangan putih menyambar, tahu-tahu ia sudah lenyap dari tempat itu! Hening sejenak, kemudian Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak.

"Hebat....., hebat......, sama benar dengan ayahnya! Keras hati, bersemangat, tidak mudah tunduk. Ayahnyapun dahulu menjauhkan diri dari orang lain, suka bekerja sendiri, betapapun juga..... seratus persen patriot sejati....." Kakek ini lalu menenggak araknya.

Bi Eng ikut dengan Li Hoa dan gadis ini tidak pernah meninggalkan Ta-tung, sungguhpun ia juga tidak mau membantu pertempuran-pertempuran yang terjadi di daerah itu. Malah ada kalanya kalau Li Hoa dan Li Goat serta yang lain-lain pergi dan ikut bertempur, Bi Eng tinggal seorang diri di Ta-­tung, melihat-lihat dan menanti kembalinya Han Sin. Tanpa Han Sin di sampingnya, tidak mau ia ikut bertempur.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment