Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 048

◄◄◄◄ Kembali

"Kau ini laki-laki macam apa? Bagaimana bisa seorang kakak mencinta adiknya sendiri seperti cinta kasih seorang pria terhadap wanita?"

Sudah kepalang tanggung bagi Han Sin. Ia harus membuat pengakuan, agar Tilana tidak penasaran lagi.

"Bi Eng bukanlah adikku yang sesungguhnya....., dia......, dia itu..... dia itu....... dia puteri Balita .....”

Tilana tersentak kaget, wajahnya pucat. “Apa...... artinya kata-katamu ini? Anak ibu hanya aku seorang!"

Han Sin tersenyum. "Banyak rahasia terpendam, banyak hal aneh terjadi di waktu kau masih kecil, Tilana. Sebaiknya kau tanyakan hal ini kepada Balita, orang yang selama ini kau anggap ibumu itu. Aku sendiri masih belum tahu banyak

Tilana dengan muka pucat memandang Han Sin bibirnya bergerak-gerak perlahan,

"Bagaimana mungkin .....? Masa dia itu saudaraku sendiri? Kakak atau adikku .........?"

Kemudian memandangi muka Han Sin yang masih lecet-lecet kulitnya dan berdarah, cinta kasihnya timbul dan sambil menangis ia menubruk pemuda itu.

"Han Sin...... suamiku, jangan kau mempermainkan aku...... bilang bahwa semua kata-katamu itu bohong belaka. Aku akan mengampuni kau....., kaulah orangnya yang akan dapat membahagiakan hidupku. Biarkan aku ikut denganmu, biar aku hidup menderita dan kekurangan di sampingmu. Biarkan aku yang menghiburmu, yang melayanimu, mencuci pakaianmu, memasakkan makananmu....... Han Sin, kau kasihanilah aku........"

Han Sin sedih sekali. Andaikata tidak ada Bi Eng, alangkah akan mudah dan senangnya baginya untuk mencinta wanita ini. Ia mengelus-elus rambut yang hitam dan halus itu, membiarkan Tilana menangis terisak-isak di dadanya, membiarkan Tilana melampiaskan kedukaannya. Setelah reda tangis Tilana, Han Sin berkata lemah lembut,

"Tilana, kau seorang gadis yang berhati setia. Akupun demikian, Tilana. Selama hidupku aku hanya dapat mencinta seorang wanita saja. Aku tak dapat mengkhianati cinta kasih di hatiku sendiri, biarpun Bi Eng belum tahu akan perasaanku ini, akan tetapi di dalam hati aku sudah bersumpah takkan mencinta wanita lain. Biarlah kita berpisah sebagai sahabat, Tilana, tentu saja ....... kalau kau sudi mengampuniku. Kalau tidak, kau boleh membunuhku kalau hal itu kau kehendaki ......."

"Han Sin......." Tilana menahan isaknya. "Aku....... aku takkan kuat hidup berpisah darimu, setelah apa yang terjadi....... setelah aku menjadi isterimu....... bila kita dapat bertemu kembali setelah perpisahan ini ........?"

"Kelak kita tentu akan bertemu kembali, Tilana. Bertemu sebagai sahabat, atau sebagai saudara. Sekarang biarkan aku pergi, masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Andaikata kita takkan saling bersua di dalam dunia ini, akhirnya kitapun akan berkumpul di alam baka. Semua orang akhirnya akan bersatu juga ......."

"Han Sin......., Han Sin.... sekali bertemu aku jatuh cinta padamu, akan tetapi sekali bertemu kau menghancurkan hatiku .........."

Han Sin hanya menarik napas panjang. Semalam suntuk Tilana menangis dan membujuk, bermohon, merendahkan diri agar supaya Han Sin suka membawanya, suka diikutinya. Malah gadis ini sampai menyatakan bahwa ia sudah akan merasa puas kalau diperbolehkan menjadi seorang pelayannya, biar dia melayani Han Sin dan isterinya kelak, siapapun juga isterinya itu, asal saja ia diperbolehkan ikut dan selalu berada di sisinya. Beginilah cinta kasih yang sudah berakar mendalam di hati wanita.

Han Sin merasa amat terharu dan kasihan. Dia belum pernah mengenal cinta kasih wanita seperti ini. Benar pernah ia merasai cinta kasih Li Hoa, akan tetapi tidak seperti sikap Tilana ini. Ia merasa amat kasihan dan berusaha menghibur hati Tilana.

Pada keesokan harinya, dengan hati berat, mata merah bengkak karena banyak menangis, muka sebagian ditutup kerudung agar tidak kelihatan oleh orang-orangnya bahwa ia masih saja menangis, Tilana akhirnya melepaskan Han Sin. Malam tadi dia sendiri yang mengobati luka-luka di tubuh Han Sin, malah ia menjahitkan pakaian Han Sin yang cabik-cabik bekas cambukan. Setelah tidak ada harapan lagi untuk menahan Han Sin, Tilana mengajukan permintaan agar supaya monyet itu, Siauw-ong dititipkan kepadanya.

"Aku akan memeliharanya baik-baik," katanya, "biarlah untuk sementara ini dia menjadi kawanku biar dengan adanya dia di sampingku aku akan merasa berdekatan denganmu. Pula ...... dengan adanya dia padaku, aku merasa yakin bahwa kau tidak bohong, bahwa tentu kau akan datang mengunjungi aku di lembah Sungai Kuning di perbatasan Propinsi Shan-si."

Memang tadinya Han Sin berjanji hendak mengunjungi tempat tinggal Tilana yaitu di lembah Sungai Kuning. Sekarang Tilana mengajukan permintaan ini, berat baginya untuk meninggalkan Siauw-ong. Akan tetapi, kalau ia menolaknya, tentu akan membuat Tilana tidak percaya kepadanya dan pula, memang di dalam tugasnya yang berat mencari Hoa-ji, lebih baik kalau ia meninggalkan Siauw-ong di tempat yang aman.

Demikianlah, setelah banyak memberi tanda dengan kata-kata dan tangan kepada monyetnya akhirnya Siauw-ong mengerti dan mau ditinggalkan, apalagi ketika dengan halus Tilana memondongnya dan membiarkan monyet itu duduk di pundaknya. Monyet adalah seekor binatang yang mudah mengenal baik buruknya maksud orang dan mudah mengenal isi hati dari gerakan orang itu. Ia merasa bahwa wanita ini tidak bermaksud buruk kepadanya, maka karena takut kepada Han Sin, iapun tidak membantah perintah ini.

Tilana berdiri dengan Siauw-ong di pundaknya, memandang ke arah gerobak kecil yang ditunggangi Han Sin bergerak ke utara, sampai gerobak itu lenyap di sebuah tikungan. Dengan isak tertahan ia lalu melompat ke atas kudanya dan memberi tanda kepada orang-orangnya untuk melanjutkan perjalanan.

Makin ke utara, makin terasa suasana perang. Mulai ramailah jalan, berbondong-bondong orang menuju ke selatan. Setiap kali bertanya, Han Sin mendapat jawaban bahwa pertempuran­-pertempuran mulai pecah di perbatasan. Bala tentara Mongol sudah mulai menyerang dari beberapa tempat dan selalu mendapat perlawanan yang gigih dari barisan Mancu yang dibantu oleh orang-orang Han. Penduduk yang tidak mau ikut terseret dalam pertempuran, melarikan diri ke selatan, mengungsi.

Memang tak dapat disangkal pula, semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiap kali terjadi pertempuran dalam perebutan kekuasaan, tiap kali terjadi perang, yang paling hebat menderita adalah rakyat. Bagi rakyat di daerah perbatasan ini, selalu menjadi korban. Kalau orang-orang Mongol yang mendesak tentara Mancu keluar dari sebuah kampung, maka seisi kampung itu habis dirampoki oleh orang orang Mongol, diambil barang-barangnya, diculiki wanita-wanitanya dan dibunuhi orang-orang lelakinya.

Kalau orang-orang Mancu yang menang, nasib malang tidak banyak bedanya. Diperas, diambili bahan makan untuk ransum tentara, diganggu wanitanya dan kalau membantah dicap membantu musuh! Inilah sebabnya maka para penduduk itu merasa lebih aman mengungsi, meninggalkan rumah dan kampung halaman, lebih aman mengungsi seanak isterinya, entah ke mana dan entah bagaimana jadinya dan apa yang akan dimakannya. Pokoknya lebih dahulu meninggalkan tempat pertempuran itu, meninggalkannya jauh-jauh neraka dunia itu.

Pasukan-pasukan Mancu mulai tampak, kadang-kadang berkelompok menunggang kuda, kadang-­kadang berbaris tak teratur. Han Sin mulai menarik perhatian dan dicurigai. Ketika ia tiba di luar kota Ta-tung, sepasukan tentara Mancu menyetopnya dan ia dengan gerobaknya segera dikurung.

"Siapa kau? Dari mana dan mau ke mana? membawa apa dalam gerobak ini?" Pertanyaan bertubi-­tubi menghujani Han Sin yang mendongkol juga melihat sikap mereka. Mereka ini adalah tentara Mancu, berarti tentara penjajah tanah airnya, berarti musuh-musuhnya!

"Mungkin dia mata-mata Mongol!" terdengar seorang tentara berkata.

Akan tetapi, pada masa itu, para tentara Mancu tidak berani sembarangan mengganggu orang Han. Hal ini adalah atas perintah yang keras dari para pembesar Mancu di bawah pimpinan Pangeran Yong Tee. Mereka, orang-orang Mancu ini, dalam menghadapi pemberontakan Mongol amat membutuhkan bantuan orang-orang Han, terutama sekali orang-orang gagah di dunia kang-ouw, maka pada para anak buah dipesan supaya berhati-hati dan jangan sembarangan bersikap kasar terhadap orang-orang Han dari selatan.

"Aku orang she Cia, datang dari Lu-liang-san hendak ke kota Ta-tung. Aku membawa barang antaran, kalian ini menghadang mau apakah? Apa mau merampok?" jawab Han Sin dengan suara bernada marah.

Tidak biasanya Han Sin bersikap sekasar ini, akan tetapi bertemu dengan tentara Mancu yang dianggap musuhnya, timbul kebenciannya.

Seorang tentara yang menjadi pemimpin pasukan itu, maju dan berkata dengan suara halus,

"Sama sekali tidak, saudara Cia. Orang-orang selatan adalah sahabat sahabat kami. Akan tetapi, kami bertugas di sini dan dalam keadaan perang menghadapi pemberontakan penjahat-penjahat Mongol, kami harus berlaku hati-hati dan memeriksa setiap orang yang memasuki Ta-tung yang menjadi tempat pertahanan."

Kemarahan hati Han Sin tidak menjadi reda dengan sikap halus ini.

"Kalian berperang dengan orang Mongol bukan urusanku. Aku sudah menjawab pertanyaan, sudah mengaku she-ku, sudah memberi tahu bahwa aku mengantar barang ke Ta-tung. Kalian percaya atau tidak, juga bukan urusanku. Harap kalian minggir dan membiarkan aku masuk kota."

Jawaban ini membikin marah semua tentara di situ. "Kasar sekali dia! Tangkap saja!" teriak seorang yang berangasan. Akan tetapi kepala pasukan itu masih berkata halus,

"Saudara Cia, kami bersikap lunak kepadamu, kenapa kau bersikap begitu kasar? Kewajiban kamilah untuk memeriksa isi gerobak ini. Harap kau suka membuka dua peti itu."

"Tak mungkin!" Han Sin makin marah. "Setelah menjajah tanah airku, apakah kalian masih hendak menindas dan menghalangi pergerakan bebas seseorang? Peti-peti itu hanya titipan, bukan milikku. Aku sendiri yang bertugas mengantar tidak berani membuka, apalagi orang lain, tentu tak kuperbolehkan."

"Kau melawan?" Si berangasan tadi melangkah maju dan memukul kepala Han Sin.

Pemuda ini mengangkat tangan, dua lengan bertemu "dukk!" dan si berangasan menjerit kesakitan, roboh terguling dengan tulang lengan patah-patah! Ia mengaduh-aduh dengan muka pucat.

"Seekor semut sekalipun akan melawan kalau diinjak, apalagi manusia yang tak bersalah tentu akan melawan kalau diserang," kata Han Sin, sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan sinar yang amat tajam menusuk dan seakan-akan berkilat-kilat, membuat semua orang yang mengepungnya menjadi gentar juga.

Kepala pasukan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pandai, maka cepat ia menjura sambil bertanya, "Maafkan kelancangan anak buahku. Sicu (tuan yang gagah) apakah mempunyai kenalan orang gagah yang membantu pasukan kami di Ta-tung?"

Han Sin berpikir. Menurutkan perasaannya ia tidak sudi berbaik dengan mereka ini, malah ingin ia menumpas mereka. Akan tetapi pikirannya yang sehat memaksanya bersikap lain. Ia sedang bertugas tidak hanya harus melindungi dua buah peti titipan Lie Ko Sianseng. Ia sudah berjanji melindunginya, kalau sampai terjadi keributan dan peti-peti itu hilang, bukankah berarti ia melanggar janji? Pula, ia sedang mencari Hoa-ji, malah belum berkumpul kembali dengan Bi Eng. Alangkah tidak baiknya kalau ia mencari musuh di sini.

"Aku kenal baik dengan nona Thio Li Hoa. Kalian percaya atau tidak, terserah!"

Kepala pasukan itu menjadi terkejut dan saling pandang juga anak buahnya. Nama Thio Li Hoa siapakah yang tidak mengenalnya? Puteri Thio-taijin yang amat lihai, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa! Pada saat itu datang lagi serombongan orang. Mereka ini berpakaian seperti pengemis-pengemis dan sebagian pula berpakaian sebagai tosu (pemeluk Agama To).

"Haii ....... bukankah itu Cia-taihiap dari Min-san .......??" Tiba-tiba seorang tosu tua berseru girang. Tosu ini tua dan gagah sikapnya, rambutnya digelung satu dan sekali ia menggerakkan kaki tahu-­tahu tubuhnya sudah melayang dan turun di depan Han Sin. Gerakkannya ringan dan cepat seperti burung terbang saja.

Han Sin segera mengenalnya. Cepat-cepat ia menjura. "Eh, kiranya Hee Tojin berada di sini pula.........!”

Ternyata bahwa para tosu itu adalah anggauta-anggauta Cin-ling-pai dan pemimpin mereka adalah Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng yang semenjak tewasnya para pimpinan Cin-ling-pai yaitu Giok Thian Cin Cu, It Cin Cu, dan Ji Cin Cu, telah dianggap sebagai ketua Cin-ling-pai. Tentu saja ia mengenal Han Sin yang menjadi tuan penolongnya.

Di lain pihak, Han Sin menjadi heran sekali. Bagaimana orang-orang Cin-ling-pai yang tadinya berjiwa patriotik sekarang tahu-tahu berada di situ dan agaknya bersatu dengan barisan Mancu? Bukankah dahulu orang-orang gagah ini memusuhi Mancu? Lebih besar keheranan hatinya ketika ia mengenal bahwa di antara para pengemis itu terdapat pula Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong, murid luar Ciu-ong Mo-kai yang dahulu juga seorang patriot! Kenapa dia dan kawan-kawannya itupun berada di Ta-tung, padahal dulu amat membenci penjajah Mancu? Benar-benar amat mengherankan semua perubahan ini dan andaikata ia belum mendengar keterangan Li Hoa, tentu ia akan merasa tidak senang sekali kepada mereka.

Ketika para pengemis dan tosu kang-ouw ini mendengar dari pemimpin regu tentara Mancu tentang dua buah peti yang dibawa Han Sin, mereka mendekati gerobak Han Sin. Hee Tojin mengerutkan keningnya dan bertanya,

"Cia-taihiap, kita adalah orang-orang sendiri. Harap kau maafkan kalau prajurit prajurit kasar ini tadi mengganggumu. Akan tetapi, pinto rasa kaupun takkan berkeberatan memberi tahu secara berterus terang, siapakah yang mempunyai peti peti ini dan hendak dikirimkan kepada siapa?"

Han Sin maklum bahwa dia mendekati daerah berbahaya, daerah pertempuran dan sudah semestinya kalau para pejuang yang menjaga di situ harus berlaku waspada. Dia sendiri andaikata menjadi seorang pejuang yang berjaga, tentu akan berlaku waspada dan tidak mudah mempercayai orang. Sambil tersenyum ia menjawab,

"Di jalan aku bertemu dengan Lie Ko Sianseng si Raja Swipoa. Nah, dialah yang mempunyai peti-­peti ini dan dia minta aku menyerahkan dua peti ini kepada seorang penerima yang akan menyambutku membawa surat kuasanya di Ta-tung.

Terdengar seruan-seruan curiga di antara para pengemis, bahkan Hee Tojin juga memandang tajam.

"Milik Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng? Cia-taihiap, kenapa kau suka membawakan barangnya? Itulah berbahaya sekali! Tak tahukah kau bahwa Lie Ko Sianseng itu adalah seorang kaki tangan Mongol, orang yang dipercaya oleh Pangeran Galdan?"

Tak senang hati Han Sin mendengar ini. Andaikata mereka ini, para tosu dan pengemis kang-ouw ini berjuang membela tanah air melawan penjajah asing, dia tentu akan turun tangan membantu tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi mereka ini biarpun memerangi orang Mongol, nyatanya menghambakan diri kepada pemerintah penjajah Mancu!

"Dia itu kaki tangan orang Mongol atau kaki tangan orang Mancu, aku tidak perduli. Bukan urusanku." Jawaban ini membuat para tosu dan pengemis kang-ouw itu merah mukanya. Sudah tentu saja mereka merasa disindir.

"Ah, agaknya kau tidak tahu, taihiap. Apakah kau belum bertemu dengan Ciu-ong Mo-kai?" kata Hee Tojin.

"Siapapun juga takkan dapat merobah pendirianku tadi," jawab Han Sin. "Pendeknya, aku akan membawa barang-barang ini ke Ta-tung, lalu mencari adikku dan pergi meninggalkan Ta-tung. Perang antara Mancu dan Mongol bukan urusanku dan aku tidak mau ikut-ikut. Harap kalian suka minggir dan jangan mengganggu aku."

Hee Tojin sudah mengenal kelihaian pemuda ini, malah pemuda ini adalah pewaris dari pada ilmu-­ilmu Giok Thian Cin Cu, jadi menurut tingkat masih terhitung paman gurunya sendiri! Juga orang-orang seperti Sin-yang Kai-pangcu Kui Kong dan beberapa orang lagi di antara tosu dan pengemis kang-ouw itu sudah mengenal Han Sin.

Akan tetapi, ada beberapa orang kang-ouw yang belum mengenalnya dan mereka inilah yang menjadi penasaran sekali. Menghadapi seorang pemuda begini sombong, mengapa saudara-saudara mereka itu begitu bersabar hati dan mengalah?

"Cia-taihiap, harap kau maklumi keadaan kami. Karena barang-barang ini milik Lie Ko Sianseng, terpaksa kami harus memeriksanya, bahkan sebetulnya harus kami sita!" kata pula Hee Tojin secara terpaksa.

Bangkit kemarahan Han Sin. "Tidak boleh! Siapapun juga tidak boleh mengganggu barang ini selama aku masih hidup!"

Hee Tojin mengerutkan keningnya. "Cia-taihiap, kau agaknya sudah terkena bujukan Swi-poa-ong! Kenapa kau sampai melindungi barang-barangnya seperti ini?"

Han Sin melompat dan tahu-tahu ia telah berada di atas atap gerobaknya. Dengan tenang dan gagah pemuda ini bertolak pinggang, memandang ke sekelilingnya, kepada mereka yang mengurungnya, lalu berkata tenang,

"Seorang laki-laki harus memenuhi janjinya. Aku sudah berjanji akan mengantar barang-barang ini sampai ke Ta-tung, dan akan melindunginya mempertaruhkan nyawa! Kalian boleh menggunakan alasan apapun juga, akan tetapi akupun tetap pada janjiku. Sebelum aku mati, jangan harap dapat mengganggu barang-barang ini. Siapa hendak mencoba-coba, boleh maju!"

UCAPAN ini terdengar sombong, memang Han Sin sudah marah sekali dan ia merasa menjadi kewajibannya untuk melindungi barang-barang itu sebagai pelaksanaan dari pada janjinya. Memang ia sudah nekat, hal ini bukan hanya karena pendiriannya sebagai seorang laki-laki yang satu kali berjanji harus dipegang sampai mati.

Akan tetapi juga ada dua faktor penting yang mempertebal kenekatannya, yaitu pertama karena ia merasa marah melihat orang-orang yang dulu dianggapnya patriot-patriot sejati itu sekarang mau mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah, dan kedua kalinya karena semenjak terjadi peristiwa dengan Tilana, ia memang merasa amat bingung dan berduka sehingga tidak perduli lagi apakah ia akan mati ataukah hidup!

Tentu saja orang-orang yang mengelilinginya marah mendengar ini. Hee Tojin, Sin-yang Kai­pangcu, dan lain-lain tokoh yang sudah mengenal pemuda ini dan menghormatinya bukan saja sebagai pendekar, akan tetapi juga sebagai putera Cia Sun taihiap, masih merasa ragu-ragu dan tidak berani turun tangan. Akan tetapi, tokoh-tokoh kang-ouw yang belum mengenal Han Sin tak dapat menahan marahnya lagi.

"Pemuda sombong, kau mengandalkan apa sih?" bentak seorang pengemis bertubuh tinggi besar.

Pengemis ini adalah seorang tokoh dari selatan, ketua dari perkumpulan pengemis Po-yang Kai­pang, namanya Can Kwan. Dia adalah seorang ahli gwakang dengan tenaga raksasa yang amat hebat, senjatanya sebuah toya baja yang berat. Setelah membentak ia lalu melangkah maju dan toyanya ia gerakkan menyambar ke arah kedua kaki Han Sin yang berdiri di atas gerobaknya.

Pemuda ini tersenyum mengejek, sama sekali tidak mengelak, bahkan ia lalu menggerakkan kaki kirinya menendang ke arah ujung toya yang sudah menyambar dahsyat itu. Hee Tojin yang sudah mengenal tenaga raksasa dari Can Kwan dan tahu akan kehebatan hantaman toya, merasa khawatir juga. Mana bisa kaki pemuda itu menahan datangnya toya dengan tendangan? Tentu akan hancur kakinya dan diam-diam Hee Tojin merasa tidak enak hatinya. Juga para tokoh lain memandang dengan hati tegang, membayangkan betapa kaki itu akan hancur dan tubuh pemuda itu akan terlempar jatuh ke bawah.

"Dukkk!" Ujung toya bertemu dengan ujung kaki Han Sin dan kesudahannya membuat semua orang berseru kaget. Bukan kaki itu yang hancur, melainkan Can Kwan yang berteriak ngeri. Toya itu terpental menghantam pundaknya sendiri, membuat tulang pundaknya remuk dan tak dapat dicegah lagi ia roboh terguling-guling sambil mengaduh-aduh lalu pingsan!

Gegerlah suasana di situ semua orang menjadi kaget dan marah. Beberapa orang pengemis kawan-­kawan Can Kwan mengayun tubuh melompat ke atas atap gerobak, dengan senjata masing-masing menyerang Han Sin dengan maksud merobohkannya dari atas atap.

Akan tetapi, belum juga kaki mereka menyentuh atap gerobak, empat orang yang melompat berbareng itu memekik dan roboh kembali seperti dibanting oleh tenaga raksasa. Mereka hanya merasa ada tenaga yang menolak mereka. Tenaga ini demikian hebat dan tak dapat dilawan sampai-­sampai mereka tak dapat menguasai diri ketika jatuh dan terbanting di tanah mengeluarkan suara berdebuk. Empat orang itu meringis-ringis kesakitan, ada yang tulang kakinya patah, ada yang perutnya mulas karena bantingan itu dan ada yang matanya berkunang-kunang dan kepala pusing!

Makin gemparlah orang-orang yang mengurung Han Sin. Tadi mereka tidak melihat pemuda itu menyerang lawan, hanya menggerakkan kedua tangan saja, akan tetapi tanpa menyentuh keempat orang lawannya, ia sudah berhasil merobohkan mereka. Benar-benar hal yang hampir tak dapat dipercaya oleh mereka, kecuali Hee Tojin dan Sin-yang Kai-pangcu yang keduanya sudah maklum bahwa pemuda itu mewarisi ilmu silat Lo-hai-hui-kiam dari Giok Thian Cin Cu dan ilmu silat Liap­hong Sin-hoat dari Ciu-ong Mo-kai!

Para pengurung menjadi ragu-ragu dan jerih. Mereka saling menanti, akan tetapi tak seorangpun berani mencoba-coba menyerang Han Sin yang masih berdiri di atap gerobaknya dengan sikap tenang dan angker.

"Sin-ko ....!" Tiba-tiba terdengar seruan girang.

"Eng-moi .....!" Han Sin juga berseru girang ketika melihat Bi Eng datang berlari-lari bersama Li Hoa.

Di belakang dua orang gadis ini kelihatan tiga orang lagi, yaitu seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan berambut kusut awut awutan membawa sebuah guci arak, seorang gadis yang cantik dan wajahnya mirip Li Hoa bersama seorang pemuda yang gagah dan tampan.

Han Sin tidak mengenal gadis itu, akan tetapi ia segera mengenal pemudanya yang bukan lain adalah Phang Yan Bu, putera dari Ang-jiu Toanio. Adapun pengemis aneh itu bukan lain adalah Ciu-ong Mo-kai! Gadis yang berada di sisi Phang Yan Bu itu bukan lain adalah Thio Li Goat, adik Li Hoa.

Kita sudah mengenal Li Goat ini sebagai puteri Thio-ciangkun, seorang gadis yang bersama cicinya, Li Hoa, berjiwa patriotik seperti ibunya. Ketika orang-orang gagah yang tadinya berselisih faham dan berlawanan, mereka yang pro dan yang anti pemerintah Ceng, kini bersatu dalam menghadapi pemberontakan Bhok-kongcu alias Pangeran Galdan, dua orang enci adik yang gagah perkasa ini tidak mau ketinggalan. Merekapun berangkat ke utara dan membantu pembasmian pemberontak Mongol yang ingin menjajah kembali Tiongkok. Dalam perjuangan inilah Li Goat bertemu dan berkenalan dengan Phang Yan Bu, dan keduanya saling tertarik, akhirnya mereka menjadi sahabat baik.

Ketika Li Hoa muncul bersama Bi Eng di Ta-tung, Yan Bu dan Li Goat girang. sekali bertemu dengan gadis dari Gunung Min-san ini. Phang Yan Bu masih bersikap ramah-tamah dan baik sekali terhadap Bi Eng, sungguhpun sekarang pemuda ini menjadi ragu-ragu dalam menentukan pilihan hatinya.

Terhadap Bi Eng diam-diam ia masih menaruh hati kagum dan tertarik. Bi Eng adalah seorang gadis yang lincah gembira, bersemangat dan panas seperti cahaya matahari, cantik manis dan jujur. Di lain pihak, Li Goat adalah seorang gadis cantik jelita yang pendiam, bersungguh-sungguh, sopan dan pengetahuannya luas. Bagaikan bunga, Bi Eng adalah setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, bergoyang-goyang gembira kalau terbawa angin. Sebaliknya Li Goat bagaikan bunga seruni yang tenang, tak mudah tergoyangkan angin, akan tetapi memiliki daya penarik tersendiri.

Diam-diam Phang Yan Bu suka menbanding-bandingkan dua orang gadis kawan baiknya ini di dalam hatinya, dan kadang-kadang ia mengeluh dan memaki diri sendiri. "Kau pemuda gila, mata keranjang, yang itu suka yang ini cinta. Bodoh, memalukan!"

Akan tetapi, pandang mata Li Goat yang kadang-kadang mengandung sinar kasih sayang kepadanya, membuat Phang Yan Bu lebih condong kepada Li Goat. Ia dapat menduga bahwa Li Goat "ada hati" kepadanya, sebaliknya, Bi Eng bersikap terbuka dan riang kepadanya, seperti juga kepada orang lain.

Bi Eng juga girang sekali ketika di Ta-tung ia bertemu dengan teman-teman lama ini. Apalagi ketika ia bertemu pula dengan Ciu-ong Mo-kai, gurunya.

"Bi Eng, kau datang ke sini mau apa?" tanya Ciu-ong Mo-kai setelah hilang keheranannya melihat murid yang tak tersangka-sangka ini.

Setelah memberi hormat, Bi Eng berkata manja, "Teecu (murid) bertemu dengan enci Li Hoa dan yang menolong Siauw-ong yang terluka. Karena Sin-ko hendak pergi mencarikan obat, teecu diajak enci Li Hoa ke sini, bertemu dengan suhu dan teman-teman sambil menanti datangnya Sin-ko."

Ciu-ong Mo-kai cemberut. "Tempat ini menjadi tempat perang. Apa-apaan kau anak kecil datang ke sini? Tempat berbahaya, tahu?"

Bi Eng mengerling manja. "Suhu sendiri datang ke sini, kenapa teecu tidak? Apa yang diperbuat oleh gurunya, tentu selalu diturut dan dicontoh muridnya!"

Ciu-ong Mo-kai semenjak dulu tak pernah dapat marah kepada muridnya ini. Malah sering kali Bi Eng yang "ngambul" dan marah kepada suhunya. Sekarang mendengar jawaban muridnya ini, Ciu­ong Mo-kai tertawa bergelak lalu menenggak arak wangi dari gucinya.

"Aku tidak bisa berbantah dengan kau. Tunggu saja sampai Han Sin datang, aku akan perintahkan dia membawamu pergi dari sini, ke tempat aman!"

Demikianlah Bi Eng merasa senang berada di Ta-tung bersama orang-orang yang dikenalnya. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh persilatan dan merasa amat heran mengapa orang-orang yang dulu bermusuhan sekarang bisa bekerja sama membantu pemerintah Ceng. Gadis ini biarpun masih hijau namun berkat bimbingan Han Sin, memiliki kecerdikan pula. Maka setelah ia mendengar penuturan Li Hoa dan yang lain-lain, ia mengerti bahwa semua ini tentulah hasil dari pada kebijaksanaan Pangeran Yong Tee!

Pangeran itu amat bijaksana dan dengan kebijaksanaannya itulah ia dapat menarik para enghiong sehingga orang-orang yang tadinya berjiwa patriot, orang-orang yang tadinya tidak rela melihat tanah air dijajah bangsa lain, kini malah membantu pemerintah penjajah itu untuk menghadapi ancaman Bangsa Mongol di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu!

Memang tepat dugaan Bi Eng ini. Pangeran Yong Tee-lah yang mengatur semua ini sehingga tokoh-tokoh kang-ouw seperti Ciu-ong Mo-kai, tosu-tosu Cin-ling-pai dan banyak kai-pang (perkumpulan pengemis kang-ouw) yang tadinya memusuhi pemerintah Mancu, sekarang berbondong menuju ke utara untuk menghalau ancaman Bangsa Mongol yang bermaksud menyerbu ke selatan dan menjajah kembali daratan Tiongkok.

Lanjut ke jilid 049 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment