Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 050

◄◄◄◄ Kembali

Di dalam perjalanannya meninggalkan Ta-tung, menyeberangi perbatasan dan memasuki wilayah Mongol, beberapa kali Han Sin menyaksikan pertempuran antara pasukan Mongol dan pasukan Mancu. Akan tetapi, ia selalu menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri, malah menghindarkan diri agar jangan bertemu dengan orang orang yang membantu Mongol seperti Coa-tung Sin-kai, Tung-hai Siang-mo, apalagi dengan Bhok-kongcu atau Pak-thian-tok Bhok Hong.

Tugasnya hanya mencari dan menemukan Hoa-ji si gadis berkedok, kalau ia melayani segala bentrokan dengan musuh-musuh lama, tentu akan menyulitkan pekerjaannya dan memakan banyak waktu. Tak enak meninggalkan Bi Eng terlalu lama di Ta-tung.

Biarpun demikian, beberapa kali ia sengaja menawan seorang Mongol dan memaksanya memberi keterangan di mana adanya Hoa-ji atau Hoa Hoa Cinjin, karena ia menduga bahwa Hoa-ji tentu tidak akan jauh dari ayahnya. Akhirnya ia mendapat keterangan bahwa Hoa-ji, seperti yang lain-lain, berkumpul di kaki Gunung Yin-san sebelah utara. Tempat ini sukar didatangi apalagi oleh orang yang belum mengenal daerah gurun pasir ini. Akan tetapi, Han Sin tidak menjadi gentar dan dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke utara.

Pada suatu hari, dalam sebuah hutan, ia mendengar lagi pertempuran di dalam hutan. Tadinya ia hendak menyimpang, tidak mau mencampuri pertempuran itu, akan tetapi tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar seruan-seruan yang sudah dikenalnya. Tak salah lagi, itulah suara Li Hoa!

Pada pasukan Mancu atau Mongol ia tak usah ambil perduli, akan tetapi terhadap Li Hoa, tak mungkin ia meninggalkannya begitu saja. Gadis itu pernah menolongnya, bahkan berlaku amat baik kepadanya, pernah malah melindunginya dan berani mempertaruhkan nyawa untuk keselamatannya. Gadis itu baik dengan perbuatan, pandang mata, maupun ucapan, terang mempunyai cinta kasih kepadanya. Sekarang ia mendengar gadis ini bertempur di dalam hutan, mungkin sekali bertemu lawan yang tangguh, mungkin sekali terancam bahaya. Bagaimana ia bisa berpeluk tangan saja?

Han Sin cepat berlari memasuki hutan. Betul saja dugaannya, di antara tentara Mancu yang bertempur melawan tentara Mongol, tampak Li Hoa dengan pedangnya mengamuk hebat. Gadis yang gagah perkasa ini dikeroyok oleh lima enam orang Mongol, namun gadis itu sama sekali tidak terdesak. Sudah beberapa orang musuh dirobohkannya, akan tetapi selalu datang penggantinya dan tetap saja ia dikeroyok sedikitnya lima orang lawan. Pihak Mancu mulai mendesak, apalagi di situ selain Li Hoa, terdapat pula beberapa orang tosu yang membantu.

DARI tempat sembunyinya, Han Sin menonton dan ketika melihat betapa Li Hoa sama sekali tidak terancam bahaya bahkan mendesak, tidak mau muncul membantu. Ia tidak mau membantu pihak Mancu, hanya kalau ia melihat Li Hoa terancam bahaya, ia akan keluar menolongnya, baru sekarang ia menyaksikan pertempuran antara dua bangsa itu dan diam-diam ia merasa kagum menyaksikan sepak terjang orang-orang Mongol.

Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian bertempur yang lumayan, dan yang paling mengagumkan adalah kenekatan mereka. Sudah banyak orang Mongol menggeletak tak bernyawa lagi, akan tetapi sisa pasukan itu mengamuk terus tanpa mengenal rasa takut. Agaknya mereka memang pantang mundur dan pantang lari!

Pada saat pasukan Mongol sudah terancam sekali kedudukannya, terutama sekali karena amukan para tosu dan Li Hoa, tiba-tiba mendengar suara gemuruh dari jauh. Makin lama suara itu makin keras dan kagetlah Han Sin ketika mendengarkan bahwa suara itu adalah suara nyaring dari banyak kerincingan yang berbunyi terus-menerus. Teringat ia akan seorang tokoh besar yang pakaiannya dipasangi benda-benda kecil ini. Pak-thian-tok Bhok Hong, si Racun Utara atau Raja Muda Bhok Hong-ong, ayah dari Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan pemimpin para pemberontak Mongol!

Agaknya bukan hanya Han Sin yang merasa kaget. Juga Li Hoa, para tosu dan para anggauta pasukan Mancu terkejut dan nampak gelisah. Di lain pihak, orang-orang Mongol bersorak girang mendengar suara ini. Semangat mereka terbangun dan dalam keadaan nekat mereka menyerang orang-orang Mancu yang sedang ketakutan. Pasukan Mancu cerai-berai, banyak korban yang jatuh.

Suara nyaring dari seratus delapan puluh buah kerincingan itu berhenti secara tiba-tiba dan sebagai gantinya terdengar suara tertawa bergelak. Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar, bermuka tampan gagah dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi, dia masih kelihatan muda dan gagah, pakaian perangnya indah dihias kerincingan pada pakaian dan topinya. Di pinggangnya tergantung sebatang golok besar.

Suara ketawa ini pengaruhnya hebat sekali, sampai-sampai banyak tentara Mancu menggigil dan senjata mereka terlepas dari tangan. Bahkan para tosu menjadi pucat, kemudian bersama sisa pasukan Mancu, mereka mundur-mundur dan tidak berani menyerang. Sedangkan pasukan Mongol juga berhenti berperang, lalu menjatuhkan diri berlutut, menghormat Pak-thian-tok Bhok Hong.

Dengan sikap tak sabar Pak-thian-tok menggunakan tangannya memberi isyarat supaya orang-orang Mongol itu bangun berdiri, lalu terdengar suaranya yang nyaring,

"Hayo pukul terus, hancurkan anjing-anjing Mancu ini. Kenapa berhenti?"

Orang-orang Mongol itu tertawa, lalu mengeluarkan sorak sorai gembira dan bagaikan orang-orang kemasukan setan mereka menyerbu pasukan Mancu yang sudah kehabisan semangat dan nyali itu.

Melihat ini Li Hoa menggigit bibir. Ia cukup maklum akan kelihaian Pak-thian-tok Bhok Hong. Akan tetapi, dalam peperangan, seorang gagah pantang untuk merasa gentar. Melihat keadaan para tentara Mancu yang ketakutan sehingga kini terdesak hebat oleh orang-orang Mongol, Li Hoa menjadi gemas sekali.

"Hayo, lawan sampai titik darah penghabisan!" teriaknya. Suaranya melengking nyaring mengatasi sorakan musuh sehingga terdengar oleh para tosu dan para tentara Mancu.

Suara nona ini merupakan minyak yang membuat api semangat mereka berkobar lagi. Benar-benar kini orang-orang Mancu itu menjadi nekat dan begitu mereka melakukan perlawanan mati-matian, kembali orang-orang Mongol terdesak hebat.

Apalagi Li Hoa, gadis ini dengan pedangnya merupakan seekor naga yang mengamuk. Ke mana saja pedangnya berkelebat, tentu ada seorang musuh yang terguling. Han Sin makin kagum saja melihat sepak terjang Li Hoa ini.

Diam-diam ia teringat akan Bi Eng. Kalau Bi Eng berada di situ, tak dapat diragukan lagi tentu Bi Eng juga akan mengamuk seperti Li Hoa, mungkin lebih hebat lagi. Teringat akan Bi Eng, Han Sin mengerutkan keningnya. Kenapa Li Hoa meninggalkan Bi Eng dan tahu-tahu berada di tempat ini?

Selagi Han Sin termenung, ia mendengar jerit kemarahan Li Hoa. Cepat ia mengangkat muka memandang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong sudah menerjang Li Hoa!

"Perempuan ganas, kau tentu anak pembesar penjilat she Thio itu? Berani bertingkah di depanku?"

Li Hoa melihat majunya Bhok Hong, cepat menusuk dengan pedangnya. Akan tetapi, tahu-tahu ujung pedangnya itu tergetar dan ternyata telah disentil ujung jari Pak-thian-tok. Li Hoa mempertahankan diri, namun tak sanggup. Getaran pedangnya hebat, membuat tangannya menggigil dan di lain saat pedang itu sudah terlepas ke bawah menancap di atas tanah! Inilah yang membuat Li Hoa menjerit marah. Dengan nekat gadis ini lalu menyerang lagi menggunakan pukulan tangan kanan!

"Ha ha ha, perempuan liar!" Bhok Hong mengangkat tangannya menangkap pergelangan lengan Li Hoa semudah orang mempermainkan anak-anak saja.

Akan tetapi, selagi ia hendak memaksa Li Hoa bertekuk lutut, tiba-tiba ia merasa pundaknya lemas dan tahu-tahu cekalannya terlepas. Li Hoa sendiri merasa ditarik orang ke belakang, maka cepat-cepat ia menggunakan kesempatan itu untuk melompat tiga tindak sambil memandang. Ternyata...... Han Sin sudah berada di situ, menghadapi Bhok Hong!

"Seorang dari tingkatan atas menghina gadis muda, benar-benar tak tahu malu sekali!" kata Han Sin, suaranya tenang dan sabar, namun tajam seperti ujung pedang menusuk jantung. Merah muka Bhok Hong mendengar sindiran ini.

la segera mengenal Han Sin. Biarpun selama hidupnya baru satu kali ia betemu dengan Han Sin, yaitu ketika mereka berada di dalam gua rahasia di Lu-liang-san, namun karena dalam pertempuran itu terjadilah hal-hal aneh sampai dia terluka hampir mati oleh pukulan dari Thai-lek-kwi Kui Lok yang dibantu oleh Han Sin, maka bagaimana ia dapat melupakan wajah pemuda ini? Kenangan ini membuat wajah Pak-thian-tok Bhok Hong makin lama makin merah, malu dan marah bercampur­-aduk menjadi satu.

"Hemmm, bagus sekali. Kiranya kau yang muncul ini? Cia Han Sin, selama hidupku aku mengandung penasaran dan dendam yang besar sekali terhadapmu. Sekarang, sengaja kucaripun belum tentu mudah terdapat, tahu-tahu kau telah muncul. Bagus sekali! Apakah kau sudah mewarisi semua ilmu dari dalam gua? Peninggalan si celaka Lie Cu Seng? Ha ha, hendak kulihat sampai di mana sih lihainya ilmu itu." Sambil bicara Bhok Hong menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Makin lama tangan itu menjadi makin merah, kemudian berubah semu hijau, lalu agak kebiruan dan akhirnya kedua tangan itu menjadi hitam sekali, sehitam arang!

Inilah penerapan tenaga beracun yang disebut Hek-tok-sin-kang, hebatnya bukan kepalang dan karena inilah maka ia dijuluki Racun Utara. Namun jarang sekali Bhok Hong mengeluarkan ilmu ini karena dengan kepandaiannya yang amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu mukjijat dan dahsyat inipun sudah jarang ia menemui tandingan. Sekarang belum juga bergebrak ia sudah mengerahkan tenaga ini, hal itu hanya berarti bahwa ia dapat menduga bahwa pemuda di depannya ini tak boleh dipandang ringan. Lebih hebat lagi, sambil tertawa mengejek Bhok Hong masih menggunakan tangan kanan mencabut goloknya yang amat besar dan berat.

Melihat itu, Han Sin tenang-tenang saja. Akan tetapi, Li Hoa dengan wajah pucat lalu melompat ke depan, memegang lengan Han Sin sambil berbisik,

"Jangan melawan ..... kau pergilah .... larilah ....!”

Namun Han Sin menggeleng kepalanya sambil tersenyum. "Jangan khawatir, Li Hoa. Aku dapat melayaninya."

Li Hoa sudah maklum akan kelihaian Han Sin, akan tetapi melihat keadaan Pak-thian-tok, ia merasa gentar bukan main. Mana bisa pemuda ini melawan tokoh besar yang khabarnya tak pernah terkalahkan orang itu? Ia lalu melangkah maju menghadapi Pak-thian-tok Bhok Hong yang keadaannya amat menyeramkan itu.

"Pak-thian-tok Bhok Hong! Apakah kau tidak malu? Kau disebut seorang tokoh besar di kalangan persilatan, seorang yang berkedudukan tinggi, lebih tinggi dari Ciu-ong Mo-kai. Masa sekarang kauhendak menghadapi seorang murid Ciu-ong Mo-kai dengan menggunakan semua ilmumu yang jahat, ditambah senjata tajam pula? Ke mana kau menaruh mukamu kalau hal yang tidak patut ini diketahui semua orang kang-ouw? Ketahuilah, Cia Han Sin sama sekali tidak mau mencampuri urusan perang antara Mongol dan Mancu. Dia bukan musuhmu dan memang betul dengan mudah kau dapat membunuhnya, akan tetapi kali ini akan rusak binasa nama besarmu, kau akan dipandang sebagai seorang rendah tak tahu malu!"

Mendelik mata Bhok Hong mendengar ini. Sudah menggigil tangannya, ingin sekali dengan pukulannya ia menghancurkan tubuh wanita yang berani mengeluarkan kata-kata seperti itu kepadanya. Namun, ucapan itu menyadarkannya, membuka matanya bahwa memang tidak patutlah kalau ia melawan pemuda ini seperti seorang melawan musuh yang setingkat. Untuk menyembunyikan rasa malu dan penasarannya, ia tertawa bergelak sambil menyimpan kembali golok besarnya.

"Ha ha ha ha....., puteri orang she Thio yang sudah mampus ternyata sekarang tergila-gila kepada bocah ini. Ha ha ha, kaukira aku tidak mengerti mengapa kau membelanya mati-matian! Kau cinta kepadanya! Tapi benar pula ucapanmu tak perlu aku melawan bocah ini, mengotorkan tangan mencemarkan nama saja. Heh, bocah she Cia. Melihat muka gadis yang membelamu mati-matian ini, biar aku pukul kau sampai tiga kali, kalau kau bisa menahan tiga kali seranganku, biarlah kuampunkan nyawamu!"

Baru saja ia berhenti bicara, secepat kilat dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Pukulan ini dahsyat sekali. Angin pukulannya saja yang menyambar hebat membuat Li Hoa yang berdiri di samping sampai terpelanting dan hanya dengan menggulingkan diri beberapa kali di atas tanah gadis itu bisa menyelamatkan diri!

Tentu saja lebih hebat daya serangnya kepada Han Sin sendiri yang memang dijadikan sasaran. Hawa pukulannya mendatangkan angin dahsyat, juga didahului bau amis yang memuakkan. Tahulah Han Sin bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang amat berbahaya. Namun ia seorang laki-laki. Ucapan Bhok Hong tadi sudah mengandung tantangan dan sikap memandang rendah.

Biarpun dia belum memberi jawaban karena tak sempat lagi, namun di dalam hatinya ia menerima tantangan ini dan kalau ia mengelak, ia akan merasa malu sendiri. Sambil menahan napas agar jangan terpengaruh bau amis itu, ia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan mengangkat lengan kirinya menangkis pukulan ini. Tenaga sinkang yang amat dahsyat, yang mengandung hawa racun Pek-hiat Sin-coa, mengalir di lengan kirinya.

"Dukk!!"

Dua lengan yang jauh bedanya, yang satu kehitaman, besar dan kuat kekar, bertemu dengan lengan yang berkulit putih halus. Akibatnya hebat. Pak-thian-tok Bhok Hong mengeluarkan suara menggereng seperti harimau ketika tubuhnya terhuyung-huyung mundur. Juga Han Sin tergempur kuda-kudanya, merasa betapa hawa yang panas sekali menyerangnya. Namun berkat sinkang di tubuhnya yang kuat, biarpun ia juga terhuyung mundur namun hawa beracun itu tidak dapat menembus pertahanannya.

Bhok Hong kaget dan heran bukan main. Pukulannya tadi biarpun baru dikeluarkan setengahnya, kiranya sudah cukup kuat untuk merobohkan seorang tokoh persilatan setingkat dengan Hoa Hoa Cinjin atau setidak-tidaknya setingkat dengan Ciu-ong Mo-kai. Kenapa bocah ini hanya terhuyung saja, bahkan ia sendiri merasa adanya tenaga tolakan dahsyat yang membuat iapun terhuyung mundur?

la penasaran sekali, digerak-gerakkan kedua lengannya, digosoknya pula kedua telapak tangannya dan dengan seruan keras ia sudah menyerang lagi. Serangannya amat aneh gerakannya, dua kali tangan kirinya memukul dan mencengkeram namun ditarik kembali secara tiba-tiba dan tangan kanannya yang betul-betul memukul secara tak terduga, yang dituju adalah pundak kiri Han Sin.

Pemuda ini bingung juga menghadapi serangan lawannya. Tadi di waktu Bhok Hong menyerang dengan pukulan-pukulan ancaman, kalau dia mau dengan mudah saja ia akan mendahului dengan serangan dengan jurus-jurus ilmu silat Lo-hai Hui-kiam atau Thian-po-cin-keng. Akan tetapi tadi dalam hati ia berjanji untuk menghadapi tiga kali serangan kakek itu, kalau sekarang sebelum tiga kali diserang ia membalas, bukankah itu berarti melanggar janji sendiri di dalam hati?

Keraguan ini membuat ia menderita rugi. Kalau tadi ia balas menyerang, setidaknya daya serangan lawan akan berkurang. Akan tetapi karena melihat pemuda itu hanya menjaga diri dan nampak bingung menghadapi gerakannya yang aneh, Bhok Hong dapat mengacau pertahanannya dan pukulan ke arah pundak kiri itu datang tiba-tiba tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi.

Terpaksa Han Sin mengerahkan seluruh sinkangnya, disalurkan ke pundak kiri untuk menerima pukulan. la maklum akan bahayanya hal ini, akan tetapi apa boleh buat. Dengan pencurahan segenap panca indera dan hawa semangat di dalam tubuh sampai pundaknya terasa panas sekali, ia siap menerima pukulan itu.

"Plakkk!" Telapak tangan yang hitam itu menampar pundak dengan tenaga yang bukan main besarnya, tenaga dalam yang tidak kelihatan namun sebetulnya menyerang di bagian dalam tubuh. Kalau bukan Han Sin yang menerima pukulan ini, tentu akan roboh binasa dengan jantung hangus dan isi dada berantakan.

Dalam pukulan ini Bhok Hong menggunakan tiga perempat bagian dari tenaganya, karena kakek ini yakin bahwa pukulannya pasti akan berhasil merobohkan Han Sin. Pula, ilmu pukulan Hek-tok-sin­kang ini memang tidak boleh sembarangan dipergunakan. Setiap kali menggunakan, kalau pukulan ini membalik, dia sendiri akan terluka. Tadi dalam pukulan pertama ia sudah merasa betapa pukulannya membalik. Baiknya hanya setengah bagian saja sehingga ia masih cukup tenaga untuk menolak atau "menyimpan" hawa pukulannya yang membalik.

Bukan main hebatnya pukulan ini. Li Hoa menjerit ketika melihat betapa tubuh Han Sin tergoyang-­goyang dan wajah pemuda itu menjadi pucat sekali, kedua kakinya lemas seakan-akan hendak roboh setiap saat. Gadis itu yang sepenuhnya memperhatikan Han Sin, tidak melihat betapa Bhok Hong juga menjadi pucat mukanya dan bahkan kedua pundak kakek itu menggigil seperti orang terserang penyakit demam malaria!

Han Sin meramkan matanya, mengatur napas. Ia merasa jantungnya terguncang dan hawa panas memenuhi dadanya. Ini baik sekali karena itu berarti bahwa pukulan Bhok Hong yang tadi membawa hawa dingin sekali, ternyata tidak sampai menguasai jantung dan isi dadanya, dapat ditolak dengan hawa sinkangnya. Dia telah berhasil menerima pukulan kedua dengan pundaknya!

Diam-diam pemuda ini girang dan juga ada rasa bangga di dalam hatinya. Pukulan kedua tadi bukan main dahsyat dan lihainya, namun berkat latihan-latihannya, ia berhasil menerimanya tanpa terluka hebat di dalam dada. Memang kalau dilihat dari luar, hebat sekali bekas pukulan itu. Bajunya di bagian pundak terlihat ada tanda lima jari tangan hitam, seakan-akan baju itu tadi dicap oleh lima jari tangan dengan tinta bak.

"Han Sin ...... awas ....!" tiba-tiba Li Hoa menjerit ketakutan ketika melihat betapa Bhok Hong mempergunakan kesempatan selagi Han Sin berdiri diam sambil meramkan mata, untuk menyerang ketiga kalinya. Penyerangan yang dibarengi gerengan dahsyat karena kakek itu sudah berada di puncak kemarahannya dan penasarannya!

Han Sin belum sempat membuka matanya, namun sebagai seorang ahli silat tinggi pemuda ini sudah dapat mendengar angin pukulan yang mengarah kepalanya. Cepat ia miringkan kepala dan mengangkat tangan kiri ke atas untuk menangkis. Pukulan itu melewati kepalanya, akan tetapi tiba-­tiba lengan tangan kirinya sudah dicengkeram oleh tangan kanan Bhok Hong!

Han Sin memandang dengan mata berkilat. Kakek itu tertawa liar dan kembali terdengar Li Hoa menjerit karena Bhok Hong sudah mengangkat tangan kirinya untuk mencengkeram kepala Han Sin. Dengan tangan kiri sudah dicekal, kiranya takkan mungkin lagi pemuda itu menyelamatkan dirinya.

Andaikata ia dapat menangkis pukulan atau cengkeraman dengan tangan kanannya, akan tetapi lengan kiri yang dicengkeram oleh tangan yang mengandung Hek-tok-sin-kang itu, mana bisa diselamatkan? Racun hitam dari segala macam binatang beracun akan menjalar dari tangan hitam itu dan akan memenuhi tubuhnya, membuat ia mati dalam waktu singkat!

Han Sin bukan tidak maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Namun ia masih tenang dan tidak terseret oleh kegemasan yang mempengaruhi hatinya. Melihat tangan kiri itu mencengkeram ke arah kepalanya, secepat kilat tangan kanannya bergerak dan di lain saat sebelum Bhok Hong sadar, pergelangan tangan kiri Bhok Hong sudah dicekal oleh tangan kanan Han Sin! Keadaan mereka sekarang sama, saling dicekal pergelangan tangan kiri oleh lawan.

Li Hoa juga seorang ahli silat yang tahu akan seluk beluk tenaga lweekang (tenaga dalam). la maklum bahwa kini dua orang itu tentu mengadu tenaga lweekang dan hal ini bahayanya seratus kali lebih besar daripada mengadu pedang atau golok. Kalah menang hanya ditentukan oleh kematian! Tak terasa lagi air mata bercucuran dari kedua mata gadis itu ketika melihat wajah Han Sin yang tampan itu berkeringat, pucat dan kelihatannya menderita nyeri yang hebat.

"Han Sin ....., Han Sin ….." bisiknya lemah, tak berdaya untuk menolong.

Memang Han Sin merasa betapa lengannya sakit bukan main. Racun yang luar biasa didorong oleh tenaga dalam yang dahsyat untuk memasuki tubuhnya dari lengan itu. Namun ia merasa lega bahwa tenaga sinkangnya sendiri dapat menolak serangan itu, maka iapun lalu mengerahkan tenaga ke tangan kanannya yang mencekal lengan kiri lawannya.

Kakek itu meringis kesakitan, mulutnya menyeringai, lalu menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah, matanya melotot memandang Han Sin dengan penuh penasaran, kemarahan, dan keheranan. Selama hidupnya, baru kali ini dia bertemu dengan lawan begini muda namun berkepandaian luar biasa tingginya!

Akan tetapi, keheranannya bertambah-tambah dengan hebat ketika ia melihat pemuda itu menggerakkan bibir dan bicara kepadanya dengan suara tenang dan jelas, "Pak-thian-tok, kau berjanji akan melepaskan aku setelah aku dapat menahan tiga kali seranganmu. Aku sudah menahan tiga kali, kau tetap tidak mau melepaskan. Apakah kau menghendaki aku membikin serangan balasan?"

Bukan main kaget, heran dan takutnya hati Bhok Hong. Menghadapi atau menerima penyerangannya berturut-turut secara aneh selama tiga jurus ini saja sudah hebat. Sekarang dalam mengadu lweekang, ternyata pemuda ini tidak berada di bawah tingkatnya. Hebatnya, malah kini dapat bicara! Padahal dalam mengadu tenaga lweekang, bicara merupakan pantangan terbesar. Dengan bicara, orang memecahkan perhatian dan mengeluarkan hawa, bagaimana bocah ini dapat bicara seenaknya tanpa mengurangi tenaga perlawanannya?

Sebelum habis Han Sin bicara, kakek itu mengangguk dan meloncat mundur melepaskan cekalannya, akan tetapi lebih dulu sebelum Han Sin menutup mulut, ia mengerahkan seluruh tenaga mencengkeram pergelangan tangan pemuda itu dengan maksud meremukkan tulangnya!

Akan tetapi, akibatnya, ia sendiri mengeluh perlahan dan ketika melihat, ternyata tangan kirinya sudah lumpuh karena tulang lengan kirinya itu patah oleh cekalan Han Sin. Pemuda ini maklum tadi akan kecurangan lawan, maka dengan gemas ia sambil mempertahankan tangan kirinya, menggunakan kesempatan untuk menggencet tangan kiri lawan sampai patah tulang lengan kiri itu!

Bhok Hong, menjadi pucat, memandang ke kanan kiri lalu berkata keras,

"Hayo, mundur! Tak perlu berperang lagi di sini!" Sekali berkelebat, kakek ini pergi tanpa pamit lagi diikuti oleh orang-orang Mongol yang lari tunggang langgang!

Setelah Bhok Hong pergi, barulah Han Sin menjatuhkan diri terduduk di atas rumput, bersila dan mengatur napas. Li Hoa cepat menghampirinya. Gadis ini tidak berani mengganggu, karena maklum bahwa jika orang memulihkan tenaga menghisap hawa murni untuk mengusir hawa beracun dari tubuh, sama sekali tak boleh diganggu.

Hatinya merasa terharu dan kasihan sekali melihat betapa pergelangan lengan kiri pemuda itu nampak hitam dan kulitnya seperti bekas dibakar api. Juga pundaknya sekarang kelihatan setelah tanda hitam pada baju itu hancur menjadi abu ketika dipakai bergerak. Kulit di pundak inipun seperti dibakar! Bukan main ngerinya kalau dibayangkan kepandaian kakek Racun Utara itu.

Li Hoa segera memberi tahu kepada semua orang Mancu supaya mengubur semua jenasah dan membawa pulang kawan-kawan yang terluka. Ia sendiri menjaga Han Sin yang masih duduk bersila.

Dua jam kemudian, baru Han Sin membuka matanya. la merintih perlahan lalu berkata, "Lihai..... hebat sekali Pak-thian-tok....."

Pemuda ini memang merasa kagum sekali. Mana ia tahu bahwa pada saat itu, jauh dari situ, Pak-thian-tok Bhok Hong pun sedang merasa menderita lebih hebat daripadanya, muntah-muntah darah dan cepat-cepat mengobati luka di dalam dadanya?

"Han Sin..... kau telah menolong.... nyawaku dan kau terluka hebat. Biar kubalut luka di lengan dan pundakmu..... “ kata Li Hoa terharu.

Meski gadis cantik ini berlutut di dekatnya. Han Sin menarik napas panjang. Teringat ia akan pertemuannya yang pertama dengan gadis ini dahulu di jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san, ketika ia ditawan oleh para tosu Cin-ling-pai kemudian ia ditolong oleh gadis ini. Ia merasa terharu sekali. Gadis ini mencintanya sepenuh hati, hal ini ia tahu benar.

Kinipun ia melihat tanda-tanda air mata yang belum kering di kedua pipi Li Hoa, juga teringat ia betapa tadi Li Hoa beberapa kali menjerit ketika melihat ia terancam bahaya, teringat betapa Li Hoa dengan berani mati mencoba untuk melindungi dan memaki Pak-thian-tok secara berani. Boleh dibilang gadis ini yang menyelamatkannya. Pak-thian-tok terlalu lihai, bertangan kosong saja sudah demikian lihai, bagaimana kalau tadi tidak disindir Li Hoa dan menyerangnya dengan golok, bukan hanya tiga kali melainkan seterusnya sampai ia binasa?

"Li Hoa, bukan aku yang menolongmu, kaulah yang berkali-kali menolongku, kau baik sekali kepadaku. Li Hoa, kenapa kau begini baik? Kenapa banyak orang baik kepadaku?"

Li Hoa menunduk, menyembunyikan sinar mata dan kemerahan pipinya. "Orang hidup memang harus saling berbaik terhadap sesamanya, Han Sin. Mari kubalut lukamu."

"Jangan dulu, biar kukeluarkan racunnya." Han Sin memeriksa pergelangan lengannya. Ternyata racun hitam hanya berkumpul di bawah kulit yang terluka, tak dapat menjalar terus, tertahan oleh darahnya yang sudah mengandung racun Pek-hiat-sin-coa. "Li Hoa, apakah kau mempunyai tusuk konde perak?"

Li Hoa mengangguk, lalu melolos tusuk konde perak dan diberikannya benda runcing itu kepada Han Sin. Han Sin menusuk kulit yang hitam di lengannya itu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Keluar darah hitam dari luka itu dan sebentar saja lenyap warna hitam. Han Sin menanti sampai darah hitam habis dan terganti darah merah, baru ia menghentikan dorongan tenaganya. Luka di pundaknya tidak sehebat luka di lengannya, maka tak perlu mengeluarkan racun.

Setelah selesai mengeluarkan darah hitam dan mengembalikan tusuk konde perak, barulah Li Hoa membalut lengan itu. Lukanya cukup berat, membuat lengan itu terasa sakit sekali dan tiap kali digerakkan, urat-uratnya tertarik dan keluarlah darah dari luka di dekat urat besar di pergelangan. Oleh karena itu, terpaksa lengan itu digantung dan saputangan besar itu oleh Li Hoa diikatkan pada leher Han Sin.

Menyaksikan sikap gadis yang begitu baik, gerak-geriknya yang penuh kasih sayang dan merasa betapa jari-jari tangan itu dengan amat mesranya memasangkan balut. Begitu halusnya menyentuhnya, melihat kulit pipi yang kemerahan dan sinar mata yang jelas mencurahkan isi hati yang penuh kasih terhadapnya, Han Sin menarik napas panjang.

Teringatlah ia akan sikap Tilana kepadanya, juga ia merasa betapa semua itu sama benar dengan yang ia rasakan terhadap Bi Eng. Cinta! Alangkah ganjilnya kalau cinta kasih hanya menyerang sebelah pihak saja. Orang bisa menjadi seperti gila karena cinta. Sikapnya sendiri terhadap Bi Eng tentu dianggap gila oleh Bi Eng. Kemudian tentang sikap Tilana, dan Li Hoa ini.

Bagaimana ia dapat membalas cinta mereka kalau hatinya sudah melekat pada Bi Eng? Teringat pula ia akan Pangeran Yong Tee, yang sampai menangis karena cinta kasih pula, karena Hoa-ji si gadis berkedok. Lebih aneh pula. Bagaimana cinta bisa menembus kedok yang menutupi muka selalu?

"Li Hoa, kau baik sekali kepadaku. Kenapa .....?"

Li Hoa sudah selesai mengikatkan ujung pembalut ke belakang leher Han Sin, dan pada saat Han Sin bertanya, gadis ini yang agaknya lupa diri karena gelora perasaannya, dengan mesra menyentuh rambut yang terurai di kening pemuda itu. Kaget ia mendengar pertanyaan ini dan untuk menutupi rasa malunya, ia menyelinap ke belakang Han Sin yang duduk di atas tanah.

"Ikatan rambutmu terlepas, biar kubereskan, bolehkah?" tanyanya lirih.

Han Sin mengangguk dan merasa betapa dari belakang, kedua tangan gadis itu dengan cekatan dan mesra melepas tali pengikat rambutnya, mengumpulkan rambut itu dan merapikannya ke atas lalu membungkus dan mengikatnya pula dengan beres. Terharu hati Han Sin. Alangkah baiknya Li Hoa. Alangkah mesranya andaikata yang melakukan hal itu adalah tangan ..... Bi Eng! 

Lanjut ke jilid 051 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment