Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 052

◄◄◄◄ Kembali

"Ibu, ada sebuah hal yang kuharap ibu suka berkata terus terang kepadaku."

Demikian Tilana berkata kepada ibunya, begitu ia memasuki rumah dan menghadap ibunya itu. Ibunya adalah Balita, seorang Puteri Hui yang tersohor, seorang pemimpin Suku Hui yang mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, apalagi akhir-akhir ini. Sepak terjangnya aneh dan ganas sekali, sungguhpun ia pada hakekatnya membenci kejahatan dan membasminya, namun dengan cara yang ganas dan kejam tak kenal ampun. Oleh karena itulah maka Balita mendapat julukan Jin-cam-khoa (Algojo Manusia).

Di waktu mudanya, Balita terkenal seorang wanita cantik jelita jarang bandingnya. Akan tetapi, seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu, setelah wanita ini menjadi rusak hatinya karena tergila-gila kepada Cia Sun dan oleh pendekar itu cinta kasihnya ditolak, Balita menjadi buas dan seperti berubah ingatannya. Ia menjadi kejam, ganas sekali, dan tidak lagi memperdulikan kecantikan dirinya.

Sekarang ia telah menjadi seorang wanita tua yang biarpun masih ada tanda-tanda bekas kecantikannya, namun ia kelihatan seperti orang liar. Rambutnya riap-riapan panjang, pakaiannya sederhana dan tidak karuan. Akan tetapi hebatnya, karena ia tekun memperdalam ilmunya, ia menjadi makin lihai dan tak seorangpun Bangsa Hui yang tidak tunduk dan takut kepadanya.

Kedatangan puterinya yang sudah membuka kerudungnya itu, membuat Balita mengerutkan kening dan memandang tajam. Cantik sekali wajah anaknya ini, cantik jelita. Mendengar ucapan Tilana tadi, Balita makin tajam pandang matanya.

"Ada hal apa yang aku sembunyikan darimu?" balas tanyanya.

"Ibu, pernah aku mendengar ibu berkata bahwa anak ibu hanya aku seorang diri, akan tetapi..... benarkah itu, ibu? Apakah selain aku, tidak ada lain orang anak perempuan lagi? Apakah tidak ada adikku?"

Seketika pucat wajah Balita mendengar pertanyaan ini. Ia bergerak maju dan lengan tangan anaknya sudah dipegangnya erat-erat, seperti seekor burung rajawali menangkap kelinci.

"Apa katamu? Dari mana kau mendengar hal itu? Dan.... eh, kenapa kau sudah membuka kerudungmu? Tilana, kau telah melanggar sumpahmu! Hayo katakan, siapa yang membuka kerudungmu?"

Tiba-tiba saja, mungkin karena dibangkitkan kekagetannya mendengar pertanyaan Tilana tadi, Balita menjadi marah tidak karuan.

Tilana terpukul hatinya oleh pertanyaan yang memang sudah disangka-sangkanya ini. la menundukkan mukanya. Tidak biasa gadis ini berbohong kepada ibunya.

"Ada orang yang sudah membukanya, ibu.... akupun hendak menceritakan hal ini kepadamu. Ada.... seorang pria yang sudah membukakannya ....."

"Setan! Dan kau sudah bunuh dia, sudah cincang hancur tubuhnya?"

Tilana menggeleng kepalanya.

Tiba-tiba Balita mencengkeram pundaknya, dan pikiran yang sudah kacau-balau dari wanita setengah tua ini tiba-tiba teringat akan hal lain.

"Eh, katakan lekas apakah kau sudah dapat memenggal leher Cia Han Sin putera Cia Sun? Kenapa tidak kaubawa ke sini kepalanya?!?"

Tilana sudah biasa menghadapi keadaan ibunya seperti itu. Pikiran ibunya berpindah-pindah tidak karuan. Karena soal membalas dendam kepada Han Sin ada hubungannya dengan kerudung yang direnggut dari mukanya, maka Tilana lalu menjawab,

"Tidak, ibu. Dia terlalu lihai bagiku, kepandaiannya tinggi sekali..... dan aku telah gagal membunuhnya. Sedikitnya aku harus berlatih sepuluh tahun lagi kalau harus menghadapi ilmu silatnya."

Balita menarik napas panjang dan menjatuhkan dirinya di atas bangku, nampak kecewa sekali. Sampai lama ia diam tak bergerak, lalu terdengar ia berkata perlahan, "Cia Sun.... Cia Sun...., sampai kapan aku dapat membalasmu?" Dan wanita ini menangis terisak-isak.

Tilana memeluk ibunya. "Ibu, harap kau jangan berduka, ibu ..... dan soal sakit hati itu kurasa takkan mungkin dapat dilakukan pembalasan lagi ....”

Mendadak Balita meloncat lagi berdiri dan memandang bengis kepada anaknya. "Percuma saja selama ini kudidik kau! Tidak becus membikin mampus anak Cia Sun. Eh, bagaimana tentang laki-­laki yang merenggut kerudungmu tadi? Kau bilang tidak membunuhnya? Kenapa kau tidak bunuh diri atau menyerahkan diri menjadi isterinya?"

Wajah Tilana menjadi merah sekali dan dua titik air mata menetes turun di atas pipinya.

"Ibu .... aku .... aku sudah menjadi isterinya .....”

Balita membelalakkan mata. "Menjadi isterinya tanpa setahuku? Setan! Siapa itu yang menjadi menantuku? Kalau dia tidak berharga, akan kucincang hancur tubuhnya. Hayo bilang, siapa dia yang menjadi pilihanmu itu!"

Makin merah muka Tilana, sampai ke lehernya merah sekali. Kemudian dengan perlahan ia menjawab,

"Cia .... Cia Han Sin ......”

Balita melengak seperti disambar petir. Ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, maka ia mendekatkan kepala dan bertanya mendesak, "Siapa kau bilang? Yang keras!"

"Dia Cia Han Sin, ibu ......”

Balita mengeluarkan jerit melengking menyayat hati, tangannya diangkat ke atas, siap hendak dijatuhkan kepada tubuh Tilana yang sudah meramkan mata. Akan tetapi gadis yang tidak takut mati ini tidak merasa datangnya pukulan itu, malah tiba-tiba terdengar suara berkakakan.

Ketika ia membuka mata, ibunya tertawa bergelak-gelak, tubuhnya terguncang-guncang dan kepalanya berdongak. "Ha ha ha! Hi hi hi, kau menjadi isterinya? Ha ha, hi hi..... Cia Sun..... Cia Sun, apakah sekarang kau tidak akan bangun dari dalam kuburmu? Ha ha ha!" Dan Balita lalu lari keluar dari pondoknya, berlari-lari di sepanjang padang pasir sambil tertawa bergelak-gelak dan kadang-kadang menangis!

Untuk sesaat Tilana melengak. Ia kaget, bingung dan heran. Sikap ibunya merupakan teka-teki baginya. Ia cukup mengenal ibunya dan biarpun ibunya bersikap aneh, akan tetapi semua yang diucapkan masih mudah ditangkapnya. Namun kali ini benar-benar ia tidak mengerti. Kenapa ibunya bersikap seperti itu ketika mendengar bahwa ia sudah menjadi isteri Cia Han Sin? Karena penasaran, apalagi karena pertanyaan pertama belum dijawab, Tilana lalu berkelebat dan lari mengejar ibunya.

Orang-orang Hui yang melihat ibu dan anak ini berkejar-kejaran, hanya tersenyum dan mengangkat pundak. Memang mereka itu mempunyai dua orang pemimpin ibu dan anak ini, yang luar biasa anehnya. Betapapun juga, mereka berdua adalah pemimpin-pemimpin yang amat baik, amat mereka takuti, amat lihai!

Tilana melihat ibunya sudah duduk di dekat batu besar dan berlindung dalam bayangan batu itu, masih tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis.

"Cia Sun..... Cia Sun.... apakah sekarang mayatmu tidak membalik di dalam kubur? Ha ha, hi hi hi..... puas hatiku....., puas .....“

Tilana berlutut di dekat ibunya. Dirangkulnya ibunya penuh kasih sayang.

"Ibu, tenanglah, ibu."

Balita memandang kepadanya, lalu tertawa lagi bergelak-gelak sambil menuding kepada Tilana,

”Kau ..... ha ha .... kau kawin dengan dia ....!"

"Ibu, kau kenapa begini, ibu? Harap kau terangkan dan sekalian jawab pertanyaanku apakah selain aku, kau masih mempunyai seorang anak perempuan lagi."

Tiba-tiba Balita menghentikan sikapnya yang luar biasa itu, kini ia merenung dan ketika pandang matanya bertemu dengan mata Tilana, gadis ini terkejut bukan main. Dalam pandang mata ini lenyaplah semua kasih sayang ibunya, terganti kebencian yang mengerikan hatinya.

"Hmmm, kau mau mengerti, bocah? Memang sebaiknya kau tahu agar aku dapat menyaksikan kehancuran hatimu. Dengar! Memang aku mempunyai seorang anak perempuan lain, anak kandungku. Dan kau bukan anakku. Dengar, Tilana, dengar baik-baik. Kau bukan anakku, akan tetapi kau anak Cia Sun! Ha ha ha! Kau anak Cia Sun, mengerti? Kau adik Cia Han Sin dan kau telah menjadi isteri kakak kandungmu sendiri! Ha ha ha ha.... gadis yang sekarang bersama Cia Han Sin, yang dianggap adiknya selama ini... dia itulah anakku yang sejati.... dia anak kandungku.....! Ha ha, hi hi hi.....!”

Kalau ada geledek menyambar kepalanya di siang hari terang itu, Tilana takkan sekaget ketika mendengar ini. Pukulan hebat ini tidak kuat ia menerimanya dan seketika ia roboh terguling pingsan!

Balita tertawa-tawa memandang tubuh Tilana yang pingsan itu. Kemudian berjalan pergi sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang menangis sedih. Matahari bergerak perlahan, bayangan batu karang itu makin menggeser sampai akhirnya tubuh Tilana tertimpa cahaya matahari. Namun tubuh itu belum juga bergerak.

**** ****
Lanjut ke jilid 053 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment