Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 059

◄◄◄◄ Kembali

Ketika menuruni Pegunungan Go-bi-san, Han Sin telah sembuh sama sekali, telah pulih kembali semua tenaganya. Ia amat berterima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, akan tetapi kepada siapa ia harus mengucapkannya? Ia tak dapat berbuat lain kecuali berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala sambil mengucap terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang di depan pondok pertapa itu, kemudian dengan cepat ia turun gunung dan mulailah ia dengan penyelidikannya untuk mencari Bhok Kian Teng.

Setelah muncul peristiwa Bi Eng yang begitu aneh, Han Sin ingin mendahulukan urusan ini. Tadinya ia amat bernafsu hendak mencari Hoa-ji yang ia yakin adalah adik kandungnya, akan tetapi setelah melihat Bi Eng bersama Bhok Kian Teng dan bersikap demikian anehnya kepadanya, ia mengambil keputusan untuk mencari Bi Eng lebih dulu.

Mengapa Bi Eng bersikap seperti itu? Dan kenapa pula Bhok Kian Teng menyebutnya Tilana. Apa yang telah terjadi? Apakah Bi Eng, sudah menjadi gila, ataukah dia, yang sudah miring otaknya? Han Sin benar-benar merasa gelisah sungguhpun ada pula sesuatu yang aneh, sesuatu yang terasa di hatinya, yang membuat bulu tengkuknya kadang-kadang meremang. Bisa jadikah Bi Eng sudah mengetahui bahwa dia puteri Balita, maka lalu bersikap seperti itu? Ah, tak mungkin .......

Pergerakan Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng untuk memberontak terhadap pemerintah Mancu boleh dibilang gagal. Bala tentaranya dihancurkan dan sudah cerai-berai. Akan tetapi selama Pangeran Mongol ini belum tertangkap atau tewas, tentu akan muncul pemberontakan lain. Memang Pangeran Galdan takkan mau menyerah begitu saja. Bhok Kian Teng diam-diam membina lagi kekuatan, malah dengan amat lihainya ia mulai mencari-cari pembantu, menyamar sebagai orang Han dan dengan beraninya pergi ke pelbagai tempat untuk secara rahasia menghubungi kawan-kawan baru, kawan-kawan lama dan membangun lagi kekuatan yang sudah rusak.

Pada suatu hari Han Sin memasuki kota Potouw. Penyelidikannya yang dilakukan amat teliti, bahkan dengan jalan menangkap dan mengancam beberapa orang Mongol yang ditemuinya di utara, akhirnya ia dapat keterangan bahwa Pangeran Mongol itu kini berada di Potouw. Di kota ini menyamar sebagai saudagar Han yang kaya raya. Han Sin maklum bahwa tidak akan mudah mencari Pangeran Mongol itu, yang selain lihai dan cerdik, juga banyak sekali pembantu-­pembantunya. Bagaimana dia bisa mencari seorang Mongol yang menyamar di kota ini? Andaikata benar Bhok-kongcu itu berada di Potouw, kiranya pangeran itu tentu akan melihatnya lebih dulu dan siang-siang sudah akan bersembunyi.

Potouw adalah kota di daerah Mongol yang sudah "dibebaskan" oleh tentara Mancu. Penduduknya terdiri dari campuran Bangsa Mongol dan Mancu, dan suku-suku bangsa lain di utara yang tidak banyak jumlahnya. Ada juga orang-orang Han yang berdagang.
Ketika sore hari itu Han Sin memasuki kota, ia melihat ribut-ribut di pintu gerbang. Setelah dekat dilihatnya seorang tosu tua sedang dikeroyok dan dipukuli oleh tiga orang Mancu yang berpakaian sebagai penjaga-penjaga kota. Jelas kelihatan bahwa tiga orang Mancu itu berada dalam keadaan mabok.

Tosu tua itu tidak mau membalas, hanya menangkis dan bergerak ke sana ke sini menghindarkan diri dari hujan pukulan. Melihat gerakan tosu itu, Han Sin terkejut. Itulah gerakan llmu Silat Cin­ling-kun dan hal ini berarti bahwa tosu itu adalah seorang anggauta Cin-ling-pai. Han Sin cepat melangkah maju ke tempat pertempuran, menggerakkan kedua tangannya dan di lain detik tiga orang Mancu mabok itu sudah terlempar ke kanan kiri dan jatuh berdebugan sampai kepala mereka benjol-benjol! Orang-orang yang menonton perkelahian ini, menjadi terheran-heran melihat seorang pemuda Han berani menentang tiga orang tentara Mancu.

Seperti biasanya, tentara-tentara yang baru saja menang perang amat ditakuti orang. Akan tetapi, tiga orang Mancu itu sendiri sudah lari tunggang-langgang setelah bertemu dengan orang yang lebih kuat. Tadipun andaikata tosu Cin-ling-pai itu berani melawan dan merobohkan mereka, kiranya mereka takkan begitu banyak berlagak. Orang-orang pemabokan semacam ini memang beraninya hanya menghina dan menindas yang lemah atau yang tidak mau melawan. Begitu bertemu dengan yang kuat, mereka akan lari ketakutan.

"Apakah totiang ini seorang anggauta Cin-ling-pai?" tanya Han Sin sambil mendekati tosu tua itu. Tosu itu semenjak tadi sudah memandangnya penuh perhatian.

"Betul, dan siapakah taihiap?"

"Aku Cia Han Sin ....." Baru saja bicara sampai di situ, tosu itu sudah cepat-cepat menjura memberi hormat.

"Ah, kiranya bengcu sendiri yang menolongku. Sudah banyak pinto yang tua mendengar nama besar bengcu, sayang ketika bengcu mengunjungi Cin-ling-san, pinto sedang turun gunung. Bengcu, harap suka ikut dengan pinto untuk menjumpai Hee-susiok."

"Hee Tojin ada di sini? Di mana dia?" tanya Han Sin girang. Kalau ada tosu-tosu Cin-ling-pai di situ, berarti dia mempunyai sahabat-sahabat, dan tentu dia akan dapat bertanya tentang Bhok Kian Teng.

"Hee-susiok berada dalam keadaan luka parah. Mari, bengcu, harap cepat pergi sebelum orang-orang kasar itu datang membawa kawan-kawan mereka."

Berdua pergilah mereka memasuki gang yang berliku-liku, kemudian tosu itu mengajak Han Sin memasuki sebuah rumah kecil. Di atas sebuah pembaringan kayu, duduklah Hee Tojin ketua Cin­ling-pai, duduk dengan tubuh lemah, bersandarkan bantal. Napasnya tinggal satu-satu, agaknya berada dalam keadaan yang payah sekali. Akan tetapi begitu melihat Han Sin memasuki kamarnya bersama tosu itu, Hee Tojin nampak bersemangat.

"Cia-taihiap! Bagus kau datang .......” katanya dengan suara perlahan namun membayangkan kegembiraannya.

Han Sin segera menghampiri tosu itu dan duduk di pinggir pembaringan.

"Hee-totiang, kenapa kau menjadi begini? Siapa yang melukaimu?" Melihat sekelebatan saja tahulah Han Sin bahwa tosu tua ini terluka hebat oleh pukulan maut yang mengandung racun. Hawa beracun membayang pada muka yang tua itu.

Tosu tua itu menarik napas berkali kali. "Kejadian aneh, taihiap......, kejadian aneh sekali..... Cia­taihiap, sebelum pinto menuturkan pengalaman pinto lebih dulu pinto bertanya, di mana adanya adikmu, Cia-lihiap?"

Han Sin mengerutkan keningnya. "Justeru karena dialah aku berada di sini, totiang. Aku sedang mencari adikku itu yang tertawan oleh Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng."

"Aahhh ...... kalau begitu betul dia ....... betul dia ...." Tosu itu berkata terkejut.

"Siapa yang kaumaksudkan? Apakah kau bertemu dengan adikku itu, totiang?" Han Sin bertanya cepat.

"Bukan saja bertemu, malah..... malah pinto terluka olehnya! Ketika pinto melihat bayangan Pangeran Galdan di kota ini, pinto mengejarnya, dia lari dan tiba-tiba muncul..... seorang gadis yang menyerang pinto secara tiba-tiba. Pinto mengenal dia sebagai Cia-lihiap, maka pinto tidak menyangka akan penyerangan itu dan ..... dan beginilah keadaan pinto ....."

Han Sin makin kaget. Cepat ia memeriksa dada Hee Tojin dan menjadi ngeri hatinya. Bagaimana Bi Eng memiliki pukulan beracun yang begitu keji? Itulah pukulan yang mengandung racun, pukulan yang hanya bisa dipelajari oleh orang-orang macam Hoa Hoa Cinjin, Pak-thian-tok Bhok Hong, atau Jin-cam-khoa Balita!

"Totiang, tidak salahkah penglihatanmu? Betulkah dia.... adikku itu yang..... yang memukul dan melukaimu .... ?" Wajah Han Sin menjadi pucat.

"Cia-taihiap, perlu apa pinto memfitnah orang, apalagi kalau orang itu Cia lihiap sendiri? Pinto berani bersumpah, malah Cia-lihiap mengatakan bahwa namanya bukan Cia Bi Eng lagi, melainkan...... eh, dia memakai nama orang Hui, kalau tidak salah, Tilana namanya."

Tak salah lagi, pikir Han Sin bingung. Dia yang menyerangku, atau Bi Eng itulah yang melukai Hee Tojin.

"Biarlah kucoba sembuhkan lukamu, totiang." Han Sin lalu menotok jalan darah di pundak tosu itu, mengurut dada dan menggunakan hawa sinkangnya yang amat kuat mendorong keluar hawa beracun dari tubuh tosu itu, malah menggunakan lweekangnya untuk mendorong darah yang hitam keluar dari luka. Setelah muka tosu itu menjadi merah kembali, tanda bahwa ia terbebas dari pada bahaya maut, Han Sin segera bertanya,

"Di manakah adanya...... adikku itu? Dan di mana adanya Pangeran Galdan? Aku akan mengunjunginya dan membongkar rahasia yang aneh ini."

Hee Tojin lebih dulu menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan pengobatan, kemudian tosu ini lalu meloloskan pedangnya, pedang Im-yang-kiam yang dulu ia terima dari Han Sin.

"Cia­taihiap, harap kausuka menerima pedang ini. Tiada gunanya lagi bagi pinto, karena sekarang Cin­ling-pai sudah cerai-berai dan pinto tidak menjadi ketua lagi. Dalam menghadapi Pangeran Galdan dan para pembantunya yang amat lihai, pedang ini ada gunanya, taihiap. Pinto sendiri tidak dapat membantu, biarlah kau memberi kepuasan kepada pinto dengan hiburan bahwa biarpun pinto tidak membantu, namun pedang Cin-ling-pai, yaitu pedang Im-yang-kiam peninggalan suhu dan pendiri Cin-ling-pai ini sedikit banyak berjasa dalam membasmi kejahatan dan membela bangsa."

Tadinya Han Sin hendak menolak, namun mendengar ucapan bersemangat ini, ia tidak tega untuk menolak lagi. la mengucapkan terima kasih, menerima pedang dan menggantungkan di pinggang.

"Kalau kau hendak mencari Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu, agaknya biar kau kelilingi seluruh kota, kau takkan berhasil mendapatkannya taihiap. Pangeran Mongol itu cerdik sekali. Kau pergilah ke sebelah barat kota, di situ terdapat sebuah gedung besar bekas rumah seorang pedagang Han yang kaya-raya. Gedung itulah yang dibeli oleh Pangeran Galdan tanpa mengganti nama, yaitu gedung keluarga Kwa, hartawan yang sudah pindah ke selatan itu."

"Bagus! Kalau begitu sekarang juga aku akan ke sana. Selamat tinggal, totiang."

"Harap kau berhati-hati, taihiap. Semoga berhasil," kata Hee Tojin.

Han Sin menempuh malam gelap mencari gedung itu. Gedung keluarga Kwa yang hartawan amat dikenal orang dan sebentar saja ia sudah berdiri di depan gedung besar yang megah itu. Lampu lampu masih bernyala dan dengan hati berdebar tegang, Han Sin menyelinap ke dalam gelap lalu meloncat ke atas genteng rumah itu. Dengan hati-hati sekali ia memeriksa keadaan gedung kemudian mengintai dari atas genteng, memeriksa setiap kamar. Ia melihat, pelayan-pelayan cantik jelita dan teringatlah ia akan pelayan pelayan yang biasa mengikuti Bhok-kong cu. Tak salah lagi, tentu di sinilah bersembunyi orang yang selama ini menjadi gara-gara segala keributan, Bhok Kian Teng atau Bhok-kongcu, kini terkenal dengan nama Pangeran Galdan!

Di lain saat Han Sin sudah berada di atas sebuah kamar yang terang di mana duduk Bhok Kian Teng seorang diri menghadapi meja! Ia melihat Pangeran Mongol itu tengah menulis di atas kertas kuning dengan huruf-huruf hitam. Huruf-huruf besar dan indah. Memang pandai sekali Pangeran Mongol ini menulis indah. Huruf huruf bersajak pula. Saking tertarik, dari atas genteng melalui celah-celah yang dibuatnya, ia membaca tulisan itu.

"Menjadikan Turkistan – Tibet - Sin kiang sekutu. Menghancurkan semua barisan Mancu. Setelah seluruh Tiongkok ditaklukkan Apa sukarnya mengusir sekutu bekas taklukan?"

Membaca tulisan ini, Han Sin menjadi marah sekali. Alangkah besarnya dan kejinya cita-cita keturunan Jenghis Khan ini. Hendak mengajak negara tetangga untuk bersekutu merampas dan menduduki Tiongkok, kemudian memukul sekutu ini yang dianggapnya hanyalah negara-negara bekas taklukan nenek moyangnya, Jenghis Khan! Benar-benar seorang pemuda yang bercita-cita besar tapi amat curang dan keji.

"Bhok Kian Teng, aku datang!" Han Sin berseru perlahan. Ia melihat pangeran itu kaget dan berdiri dari bangkunya di belakang meja, akan tetapi di lain detik Han Sin sudah berdiri di depannya, hanya terhalang meja di mana terbentang tulisannya tadi. Han Sin berdiri dengan keren, bertolak pinggang sambil menatap wajah pangeran itu yang kelihatan pucat dan kehilangan akal.

Akhirnya Pangeran Galdan atau Bhok Kian Teng dapat menguasai ketakutannya, tersenyum lebar dan berkata ramah,

"Aha, kiranya orang gagah nomor satu di kolong langit yang datang mengunjungiku. Kebetulan sekali, saudara Cia. Aku sedang kesepian dan membutuhkan sahabat yang cocok untuk diajak mengobrol. Saudara Cia Han Sin, kau muda dan gagah, memiliki kelihaian luar biasa. Kenapa kau menyia-nyiakan masa muda dan kepandaianmu? Akupun masih muda dan biarpun tidak selihai kau dalam ilmu silat, namun aku memiliki kepandaian khusus dalam hal ketatanegaraan dan ilmu perang. Mari kita bersatu, kita bersama merebut dunia ......"

"Gila! Siapa sudi mendengar obrolanmu, Bhok Kian Teng, kau apakan Bi Eng? Kau yang sudah membunuh Ciu-ong Mo-kai, membunuh Lie Ko Sianseng, membunuh Thio-ciangkun, membunuh banyak pula orang-orang gagah, patriot-patriot menjadi pengkhianat-pengkhianat. Kau apakan Bi Eng? Di mana dia sekarang? Ayoh, kau lekas mengaku dan bebaskan Bi Eng!" Han Sin marah bukan main, suaranya keras, matanya berapi dan telunjuk kirinya ditudingkan ke muka pangeran itu, sedangkan tangan kanannya bertolak pinggang, sikapnya menantang dan mengancam.

Namun Bhok-kongcu hanya tersenyum ramah. Matanya memandang penuh ejekan. "Aku tidak mengganggu adikmu, tidak melihat nona Bi Eng harap kau, jangan menuduh yang bukan-bukan ....."

"Bohong! Setan pengecut. Seorang laki-laki berani berbuat harus berani menanggung resikonya, harus berani bertanggung jawab. Kau seorang laki-laki pengecut, dan ......."

"Diri sendiri pengecut, memaki orang lain, cih, sungguh tak tahu malu .......” Tiba-tiba terdengar suara mencela, suara yang nyaring halus tapi ketus, yang membuat tersirap darah Han Sin dan pemuda ini menoleh cepat. Bi Eng sudah berdiri di belakangnya!

"Bi Eng ......!"

Gadis ini berdiri dengan gagah dan keren, bertolak pinggang, gagang pedang tersembul di balik pundak, sepasang matanya bernyala menatap wajah Han Sin.

"Bi Eng ..... adikku ........"

"Siapa adikmu? Cih, benar-benar tak tahu malu. Pura-pura tidak tahu lagi.......! Orang she Cia, biarlah kubalaskan sakit hati ibuku yang sudah terhina oleh ayahmu!" Gadis itu mencabut pedangnya, namun masih ragu-ragu melihat Han Sin berdiri seperti patung, pucat dan lemas.

"Nona Tilana, serang saja musuh kita ini!" kata Bhok Kian Teng sambil menendang meja di depannya yang melayang ke arah Han Sin.

Tanpa menoleh Han Sin yang berdiri menghadapi gadis itu, membelakangi Bhok-kongcu, menggerakkan kepalan tangannya ke belakang dan "brakkk!" meja dari kayu tebal itu hancur berkeping-keping! Demikianlah hebatnya dan dahsyatnya pukulan pemuda itu, membuat Bhok Kian Teng terkejut dan otomatis melangkah mundur saking jerihnya.

"Bi Eng,.... Eng-moi..... kenapa kau sekarang bernama Tilana? Apa yang terjadi? Apa dosaku terhadapmu......? Andaikata betul kau sudah tahu..... bahwa kau...... bukan adik kandungku...... mengapa kau jadi begini? Mengapa kau membenciku.....? Eng-moi........?"

"Tutup mulutmu!" Bi Eng membentak dengan suara nyaring sambil menyerang dengan pedangnya, menusuk tenggorokan Han Sin!

Akan tetapi bentakannya itu terdengar jelas oleh Han Sin bahwa di dalamnya terkandung isak tangis! Pemuda ini bingung dan hancur hatinya. la cepat mengelak. Kerling matanya melihat betapa Bhok Kian Teng sudah lenyap dari situ.

Tadinya ia hendak menangkap Pangeran Mongol itu yang ia kira tentulah menjadi biang keladi semua peristiwa aneh ini. Akan tetapi pangeran yang licik itu sudah melenyapkan diri dan sebagai gantinya, dari balik pintu belakang muncul tiga orang raksasa berkulit putih! la sudah mengenal mereka, sudah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang lihai pembantu Bhok Kian Teng. Andaikata di sini tidak ada Bi Eng yang ikut menyerangnya, tentu ia akan menghadapi dan melayani tiga orang aneh itu mati-matian. Akan tetapi bagaimana dia bisa melawan Bi Eng?

Han Sin mengeluarkan pekik yang amat nyaring, pekik dari perihnya hati dan perasaannya, pekik nyaring yang membuat gadis yang menyerang itu sekaligus menjadi lemas dan hampir roboh karena kedua kakinya terasa lemas. Bahkan tiga orang aneh itupun terhuyung-huyung. Ketika mereka sudah dapat menenangkan hati, ternyata Han Sin sudah lenyap dari tempat itu! Han Sin tidak melihat lagi betapa gadis itu berlari memasuki sebuah kamar, membanting diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu.

Berkali-kali Han Sin menyelidiki tempat itu. Akan tetapi alangkah kaget dan menyesalnya ketika mendapat kenyataan bahwa keesokan harinya, gedung itu telah kosong! Tak seorangpun tahu ke mana perginya Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya dan ke mana pula perginya Bi Eng ...... ataukah bukan Bi Eng gerangan gadis itu?

Dengan hati kosong dan gelisah sekali Han Sin meninggalkan kota Potouw dan semenjak saat itu, pikiran Han Sin menjadi tidak karuan. Terlampau berat tekanan batin yang dideritanya. Belum lagi beres urusannya dengan Tilana yang amat berat menindih hatinya, sekarang ditambah lagi dengan urusan Bi Eng yang amat aneh. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Tadinya ia tinggal di Ta­tung, bersama Lie Hoa dan yang lain-lain. Kenapa tahu-tahu berada di utara, berkeliaran bersama Bhok-kongcu, mengaku bernama Tilana dan bersikap memusuhinya? Malah seakan-akan sudah tahu bahwa dia puteri Balita, terbukti dari ucapannya hendak membalaskan sakit hati ibunya yang telah dihina oleh ayahnya!

Dengan adanya Bi Eng di samping Bhok-kongcu, kebencian Han Sin terhadap Pangeran Mongol itu makin memuncak. Malah sekarang ia menjadi benci sekali kepada setiap orang Mongol. Kehancuran hatinya membuat ia berpendirian lain sekarang. Setiap kali ia bersua dengan pasukan Mongol yang sudah cerai-berai itu, tanpa ragu-ragu lagi Han Sin lalu mengamuk dan membasminya!

Tanpa disadari, kemarahan dan kebenciannya terhadap Bhok-kongcu membuat ia menjadi seorang pembantu Mancu yang banyak jasanya. Setiap kali melihat orang Mongol, ia lalu menangkapnya dan memaksanya memberi keterangan di mana adanya Pangeran Galdan. Dia terus mencari pangeran ini dengan hati penuh dendam.

Pada suatu hari ia melihat sepasukan besar tentara Mancu menuju ke barat, melalui tapal batas antara Mongolia dan Sin-kiang. Tentu mereka sedang mengejar-ngejar bala tentara Mongol, pikir Han Sin. Oleh karena itu Han Sin lalu mengikuti dari jauh. Ketika menjelang senja barisan itu tiba di selat gunung, tiba-tiba pasukan-pasukan Mongol yang dikejar itu membalik dan melakukan serangan. Terjadilah perang di selat gunung. Barisan Mancu lebih besar jumlahnya, maka sia-sialah bala tentara Mongol itu melakukan perlawanan.

Akan tetapi, setelah terdengar sorak-sorai riuh dari balik gunung, baru tahu orang-orang Mancu bahwa mereka telah terjebak. Orang-orang Mongol itu ternyata telah mengatur siasat telah bersekutu dengan suku-suku bangsa lain di daerah ini, mengerahkan pasukan-pasukan dari Sin­kiang, dari Mongolia Luar, bahkan ada pula pasukan Turkestan, lalu mengepung barisan Mancu dari tiga jurusan! Perang tanding hebat terjadi, namun sekarang pihak Mancu yang mengalami kerugian dan terdesak hebat.

Tadinya Han Sin hanya menonton saja pertandingan itu dari atas puncak. Ia tidak mau perduli. Akan tetapi, ketika ia melihat bayangan Pak-thian-tok Bhok Hong, tak dapat ia menahan kemarahannya. Segera ia berlari turun dari puncak untuk menghadapi musuh besar itu. Dari puncak ke tempat peperangan itu bukan dekat, melalui hutan kecil dan jurang. Ketika tiba di tempat pertempuran, Han Sin kehilangan Bhok Hong. Tidak dilihatnya lagi tokoh besar itu di antara mereka yang masih berperang. Mayat bertumpuk-tumpuk, tanah banjir darah.

Tiba-tiba telinganya menangkap suara aneh seruan orang yang memiliki khikang yang amat tinggi. Itulah tanda bahwa tak jauh dari situ terdapat orang-orang pandai sekali sedang bertempur. Han Sin tidak perduli akan peperangan antara orang Mongol dan orang Mancu. Ketika tiba di situ dan berada di tengah peperangan, siapa saja yang dekat dengannya dan mencoba menyerangnya, baik tentara Mongol maupun tentara Mancu, tentu ia robohkan dengan pukulan atau tendangan. Setelah mendengar seruan-seruan aneh itu, Han Sin lalu berlari pergi meninggalkan gelanggang peperangan, terus berlari cepat menuju ke sebuah hutan di mana tidak terdapat tentara yang sedang berperang. Dari sinilah datangnya seruan-seruan tadi.

Makin dekat dengan tempat itu, makin kagetlah Han Sin, di samping keheranannya. Suara-suara itu benar-benar hebat, membuat jantungnya tergetar dan cepat ia harus mengerahkan lweekangnya untuk menahan getaran-getaran itu. Makin tertarik hatinya. Tentu orang-orang luar biasa yang sedang mengadu ilmu. Setelah dekat, benar saja dugaannya.

Ternyata Pak-thian-tok Bhok Hong sendiri yang sedang berhadapan dengan seorang kakek tua, duduk bersila berhadapan dalam jarak tiga meter, saling bercakap-cakap mempergunakan tenaga khikang yang hebat! Kadang-kadang mereka tertawa, juga dalam suara ketawa ini mengerahkan tenaga untuk menindih lawan.

Dengan amat tertarik, Han Sin menyelinap di balik pohon besar dan mengintai, Bhok Hong duduk bersila dengan tubuh tegak, matanya bersinar-sinar, mukanya tegang dan mulutnya membayangkan kemarahan dan penasaran. Pada saat itu, terdengar kakek tua di depannya berkata, suaranya perlahan, akan tetapi mengandung tenaga yang luar biasa,

"Pak-thian-tok, semenjak muda kita sama-sama berkelana di dunia, sama-sama melihat dan mengalami bermacam hal. Semenjak itu kau selalu mengambil jalan sesat, sudah beberapa kali aku menentangmu, memberi peringatan dan nasihat. Akan tetapi sampai sekarang kau bukannya berubah. Malah makin jauh tersesat. Bhok Hong, apakah kau tidak takut akan kemurkaan Tuhan? Apakah kau tidak mengenal Tuhan?"

Han Sin makin tertarik. Orang-orang tua ini agaknya tidak hanya mengadu ilmu kepandaian silat, agaknya hendak berdebat pula tentang kebatinan dan tentang pengetahuan-pengetahuan yang dalam. Filsafat-filsafat hidup, ini kesukaannya. Maka ia mendengarkan dengan penuh perhatian sambil diam-diam menduga-duga siapa gerangan kakek di depan Pak-thian-tok Bhok Hong itu. Kakek itu sudah tua sekali, pakaiannya sederhana dari kain putih yang kasar, rambutnya tak terurus, akan tetapi bersih dan penuh uban seperti jenggotnya, panjang terurai ke belakang. Di dekat tempat ia duduk bersila terdapat sebatang tongkat buruk sekali.

Menghadapi celaan kakek itu, Pak-thian-tok Bhok Hong tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring sekali sampai Han Sin merasa betapa pohon yang disentuhnya tergetar!

"Ha ha ha ha! Hui-kiam Koai-sian! Kau bicara tentang Tuhan? Ha ha ha! Khong Cu sendiri orang yang kalian orang-orang Han anggap sebagai nabi atau guru besar kebatinan, dia jarang sekali menyebut-nyebut tentang Tuhan! Kurasa Khong Cu sendiri juga tidak mau tahu tentang Tuhan!"

"Kau keliru, Pak-thian-tok. Justeru karena Nabi Khong Cu amat mengenal Tuhan, amat tebal imannya sehingga beliau menjadi amat setia dan taat kepada Tuhan, maka semua pelajaran yang beliau ajarkan adalah sesuai dengan Ketuhanan ........”

"Koai-sian! Kau kira aku ini orang macam apa? Apa kaukira aku belum pernah membaca kitab-­kitabnya? Khong Cu hanya mengajarkan tata susila hidup, mengajarkan prikemanusiaan, bukan Ketuhanan. Pernahkah Khong Cu menyebut-nyebut tentang sabda Tuhan, tentang kegaiban Tuhan? Itu tandanya dia tidak mau mengenal Tuhan!"

"Kembali kau keliru, Pak-thian-tok. Ketuhanan merupakan dasar kepercayaan, merupakan iman dan pegangan bagi manusia bahwa di alam semesta ini, ada kekuasaan Tertinggi yang mengatur dan menentukan segala sesuatu, kekuasaan tertinggi Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi, yang tak terselami alam pikiran manusia. Ketuhanan ialah iman pada Yang Maha Kuasa. Karena imannya sudah penuh dan ketaatan dan kesetiannya terhadap Tuhan sudah mutlak, maka Nabi Khong Cu mengajarkan tata susila hidup dan prikemanusiaan pada umat manusia."

"Apa kataku tadi? Dia hanya mengajarkan prikemanusiaan dan jangan kau campur-campur tentang prikemanusiaan itu dengan Ketuhanan," bantah Bhok Hong.

"Diumpamakan pohon, Ketuhanan adalah akar dan batangnya, prikemanusiaan adalah cabang-­cabang, ranting-ranting dan daun-daunnya. Bagaimana tidak harus dicampurkan? Karena memang tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Ketuhanan merupakan iman kepercayaannya, adapun prikemanusiaan merupakan jalannya atau cara membuktikan adanya iman itu. Prikemanusiaan dan tata susila hidup bukan lain adalah prikebajikan, yang berarti pula hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Ketuhanan tanpa prikemanusiaan takkan berarti karena tanpa bukti perbuatan yang nyata, sebaliknya prikemanusiaan tanpa Ketuhanan dapat menyeleweng karena tidak berdasar pada sumber atau pokoknya. Karena itu, Nabi Khong Cu mengajarkan tentang mempertebal tata susila hidup dan prikemanusiaan, karena kebiasaan-kebiasaan baik akan mendatangkan watak yang baik, dan semua ini sebetulnya hanyalah jalan untuk mendekatkan orang kepada Tuhannya."

"Ha ha ha, Koai-sian, kau memang tukang omong! Omong kosong belaka! Kau sebut-sebut nama Tuhan itu berarti bahwa manusialah yang menciptakan sebutan Tuhan! Tuhan itu apa sih? Tak dapat kuraba, tak dapat kulihat, tak dapat kedengarkan suaranya. Mana ada Tuhan? Kalau benar ada, Hui-kiam Koai-sian, coba kau keluarkan, biar kulihat dan kuraba dia!"

Hui-kiam Koai-sian tersenyum sabar. Han Sin yang mendengarkan di balik pohon menjadi makin tertarik. Hebat "perang tanding" kebatinan ini, pikirnya.

"Tak salah kata-katamu tadi bahwa sebutan Tuhan, seperti juga sebutan lain yang diucapkan oleh bibir, adalah ciptaan manusia. Demikian pula sebutan untuk Yang Maha Kuasa yang diucapkan oleh manusia-manusia berbangsa lain dengan bahasa mereka yang berbeda. Namun, seperti juga langit dan bumi, disebut apapun juga oleh bahasa apapun di dunia ini, kenyataannya tetap ada langit dan bumi itu. Demikian pula Tuhan, biarpun ada seribu satu macam sebutan di dunia ini sesuai dengan bahasa masing-masing, sebetulnya hanyalah Satu, yaitu Yang Maha Kuasa.”

”Sekarang, kalau memang betul Tuhan itu ada, kau keluarkan biar kulihat dia, Koai-sian." Bhok Hong menantang, mengejek.

"Bicara dengan seorang yang berwatak curang memang harus siap menghadapi segala macam tipu muslihat omongan, Pak-thian-tok. Kukatakan tadi bahwa Ketuhanan adalah soal iman, tinggal percaya atau tidak."

"Buktikan! Buktikan kalau memang ada, jangan putar balik omongan!"

"Sabarlah, tentu saja aku bisa buktikan, akan tetapi ada syaratnya."

"Bagaimana, teruskan!" Bhok Hong menantang.

"Pak-thian-tok Bhok Hong, aku tidak berani mengatakan bahwa kau seorang yang tidak mempunyai pikiran. Kau tentu mempunyai pikiran, bukan?"

"Tentu saja! Bahkan pikiranku lebih terang dari pada pikiranmu!"

"Tentu....., tentu.....! Dan kaupun tentu mempunyai nyawa, ataukah..... barangkali kau sudah tidak bernyawa lagi ......?"

"Setan! Kalau aku tidak bernyawa tentu aku mampus. Tentu saja aku mempunyai nyawa!"

Lanjut ke jilid 060 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment