Ads

Wednesday, September 5, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 063

◄◄◄◄ Kembali

KE MANAKAH perginya orang-orang gagah yang dulu membantu pertahanan Mancu dan berkumpul di Ta-tung? Yong Tee yang cerdik sekali telah mengatur sehingga mereka ini cerai-­berai, ada yang ditarik ke daerah lain untuk membantu pasukan Mancu, ada pula yang diberi hadiah dan disuruh kembali ke tempat masing-masing karena kekuatan Mongol sudah hancur. Ada pula yang ia persilakan datang ke kota raja untuk menjadi tamu agungnya. Pendeknya, secara lihai sekali Pangeran ini mengatur supaya para orang gagah itu tidak berkumpul menjadi satu karena mereka melihat ancaman bahaya lain kalau orang-orang itu berkumpul menjadi satu!

Di antara mereka yang ia undang menjadi tamu agungnya adalah dua saudara Li Hoa dan Li Goat, dan juga Phang Yan Bu. Pangeran Yong Tee maklum bahwa tiga orang muda yang gagah ini termasuk sahabat-sahabat baik dari Bi Eng dan Han Sin oleh karena itu ia mengundang mereka ini menjadi tamunya dan mempersilakan mereka menanti datangnya Han Sin dan Bi Eng di istananya di kota raja. Mereka mendapat pelayanan yang amat manis dan hormat dari Yong Tee sehingga hati orang-orang muda itu mau tidak mau tertarik dan harus mereka akui bahwa pangeran ini berbeda dengan pembesar-pembesar lainnya, peramah dan rendah hati.

Di lain pihak, Yong Tee merasa gelisah selalu karena tidak ada berita dari Han Sin maupun Bi Eng. Bagaimanakah keadaan Han Sin dalam mencari Hoa-ji si gadis berkedok? Ia hanya merasa gelisah sekali, takut kalau-kalau kekasihnya itupun menjadi korban perang. Hatinya perih kalau teringat akan pertemuan-pertemuannya dengan Hoa-ji dahulu, di taman dalam lingkungan istananya.

Pertemuan yang amat romantis, yang mesra dan juga pertemuan antara dua orang muda yang secara rahasia dan aneh sudah saling mencinta padahal dia belum pernah melihat wajah gadis berkedok itu. Hoa-ji yang mengajukan syarat bahwa sebelum mereka bertunangan secara syah, pangeran itu tidak berhak membuka kedoknya dan pangeran itu dengan rendah hati dan sabar menerima syarat ini. Secara membuta, menuturkan perasaan hatinya, Pangeran Yong Tee jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum pernah ia lihat wajahnya. Benar-benar aneh sekali kalau cinta sudah meracuni hati seorang muda.

Sudah beberapa lama, setiap malam Pangeran Yong Tee duduk di dalam taman itu, mengenangkan kekasihnya sambil mengharap-harapkan datangnya Han Sin membawa berita baik.

Pada malam hari itu, malam terang bulan, pangeran inipun duduk seorang diri di dalam taman, berkawan arak dan bunga. Ia merenung dan mukanya yang tampan nampak muram oleh kegelisahan. Sampai lama pangeran muda itu merenung sambil menatap bulan yang tampak bergerak dengan megah dan halusnya di antara mega-mega, seakan akan puteri juita sedang berjalan-jalan di tengah malam.

Ia menarik napas panjang. Bulan tetap sama, semenjak dia masih kecil sampai sekarang, mungkin sampai dia mati, sampai semua bunga di taman gugur, sampai dunia kiamat. Bulan akan tetap sama, atau setidaknya, akan lebih lama keadaannya daripada dirinya dan segala di sekitarnya. Tanpa disadari lagi, pangeran ini menggerakkan bibir mengucapkan kata-kata yang pada saat itu terasa di hatinya :

"Kebahagiaan, di mana kau bersembunyi? Betulkah kata orang pandai jaman dahulu, bahwa kebahagiaan selalu pergi kalau dicari? Padahal selalu dalam diri bersatu? Berhasil membasmi pemberontakan, mana itu kegirangan? Mana itu kebahagiaan? Aahhh, hatiku penuh kedukaan hanya karena seorang perempuan ......."

Memang keluhan Pangeran Yong Tee ini merupakan kenyataan pahit dalam kehidupan manusia. Manusia selalu mengejar kebahagiaan, mengkhayalkan kebahagiaan hidup yang disangkanya pasti akan tiba apa bila maksud hati tercapai. Namun khayal tetap khayal, membuyar setiap kali di jangkau. Maksud hati boleh terlaksana, cita-cita boleh tercapai, namun kebahagiaan? Kiranya bukan di situ letaknya, bukan dalam terlaksananya maksud hati, bukan pula dalam tercapainya cita-cita. Mengapa? Karena maksud hati tiada putusnya, cita-cita tiada habisnya.

Terlaksana yang satu, timbul kedua. Tercapainya yang ini, belum pula yang itu, dan begitu seterusnya. Nafsu angkara murka inilah yang selalu menguasai hati manusia yang haus akan kebahagiaan. Padahal tidak perlu dihauskan, karena sudah berada dalam diri sendiri, sudah bersatu dengan diri, hanya tidak terasa bagi yang belum sadar.

Menurutkan kemauan nafsu angkara murka sama halnya dengan mengisi lubang yang tak berdasar, tidak akan pernah tamat. Bahkan makin dituruti, makin terasa kekurangannya, makin diberi minum, makin haus. Aneh tapi nyata. Sekali lagi, menuruti nafsu sama dengan menambah kehausan bagi yang haus, makin diberi makin kurang!
Kalau demikian halnya, pada hakekatnya, apakah gerangan kebahagiaan? Di mana letaknya? Dibilang jauh, amatlah jauh karena dicari sekeliling dunia takkan jumpa. Dibilang dekat, teramat dekat karena sudah ada pada diri setiap orang. Soalnya timbul karena "dicari" itulah, menjadi sulit dan jauh karena timbul setelah "dicari"! Inilah rahasianya. Tidak dicari dia sudah ada, kalau dicari dia menghilang. Itulah kebahagiaan!

Tuhan bersifat Adil dan Kasih. Manusia lahir sudah membawa bahagia. Ingin melihat tinggal membuka mata, ingin mendengar tinggal membuka telinga, semua serba menyenangkan dan karenanya serba bahagia, penuh berkah berlimpahan. Ingin petik tinggal tanam, ingin tanam tinggal cangkul. Tanah tersedia, tangan tersedia, air tersedia. Bayangkan kalau Tuhan meniadakan air, atau tanah, atau tangan atau hawa! Semua takkan jadi sempurna. Tuhan Maha Sempurna Maha Kasih dan Maha Adil. Semua lengkap bagi manusia.

Akan tetapi, kenapa tetap tidak bahagia? Karena DICARI itulah. Manusia mencari YANG TIDAK ADA! Ada ini mencari itu yang tidak ada, sudah ada itu mencari ini yang tidak ada. Memberi makan nafsu, makin diberi makan makin lapar! Karena itu akibatnya, bahagia lenyap bersembunyi, dilenyapkan atau disembunyikan oleh diri sendiri yang menghamba pada NAFSU.

Demikianlah dunia selalu berputar dengan segala persoalannya. Demikian pula Pangeran Yong Tee di dalam taman bunganya yang serba indah namun tidak kelihatan indah baginya itu. Baru saja dia berhasil menghancurkan pemberontak Mongol. Kini beristirahat setelah berhasil usahanya. Semestinya bahagia, semestinya senang. Namun, taman indah tidak kelihatan indah, kesenangan perjuangan tidak menyenangkan hati. Kenapa? Karena pangeran inipun mencari YANG TIDAK ADA, yaitu mencari kehadiran Hoa-ji disampingnya. Menjadi permainan cinta yang amat aneh.

"Hoa-ji ....." berkali-kali nama ini dikeluarkan, langsung dari hatinya melalui bibir yang menarik napas panjang pendek berulang kali.

Pangeran Yong Tee sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, bayangan seorang wanita yang langsing tubuhnya bersembunyi di balik pohon dan memandang kepadanya penuh kebencian. Wanita yang masih muda, cantik jelita dengan kerudung pada kepalanya. Tilana! Gadis ini memang Tilana, yang dengan kepandaiannya sudah berhasil menyelinap memasuki taman di luar tahunya para penjaga istana pangeran itu. Kini dengan pandang mata penuh kebencian, Tilana mengeluarkan tiga buah anak panah, dipasangnya pada gendewanya dan ditariknya tali busurnya ......

"Pangeran ....!"

Tilana menunda gerakannya, tidak jadi memanah pangeran itu ketika mendengar seruan ini, seruan wanita yang melompat keluar dari tembok taman. Wanita yang baru datang ini bertopeng dan langsung berlari menghampiri Pangeran Yong Tee, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.

"Hoa-ji .....!" seruan yang keluar dari bibir pangeran itu girang bukan main, lalu ia menubruk hendak memeluk gadis berkedok itu.

"Jangan .....! Jangan sentuh aku lagi, pangeran ....., jangan .....!"

Yong Tee terkejut dan menahan tangannya. "Hoa-ji, apakah yang terjadi? Apakah kau sudah bertemu dengan saudara Cia Han Sin? Kau datang dari mana dan mengapa kau bersikap begini?" Pertanyaan ini keluar dengan suara halus, mesra, dan penuh cinta kasih.

"Pangeran, ketahuilah bahwa tadinya aku datang dengan maksud membunuhmu! Tapi.... tapi aku tidak tega.... bagaimana aku bisa membunuh seorang yang begini baik? Yang selalu kujunjung tinggi? Yang kuketahui betul-betul isi hatinya yang baik? Ya Tuhan, mengapa aku menjadi anaknya? Mengapa .....?" Hoa-ji lalu menangis.

Yong Tee nampak bingung sekali. Ia meraih tangan gadis berkedok itu, menariknya berdiri dan mengajak duduk di atas bangku.

"Duduklah, Hoa-ji, duduklah di sini, di sampingku seperti dahulu. Tidak ada apa-apa yang buruk di antara kita, masih seperti dulu. Tenangkanlah hatimu dan sekarang ceritakan apa yang menyebabkan engkau bersikap seperti ini."

Suara yang sabar, ramah dan penuh kasih sayang ini menenangkan gelora hati Hoa-ji. Gadis ini menghentikan tangisnya, mengusap air mata menahan isak lalu bercerita. Sambil berlinang air mata ia mengulang cerita yang ia dengar dari Han Sin.

"Dahulu, belasan tahun yang lalu, dipuncak Min-san tinggal suami isteri Cia Sun bersama dua orang anaknya, yang sulung laki-laki bernama Cia Han Sin dan yang bungsu, masih bayi, perempuan bernama Cia Bi Eng. Cia Sun dikenal sebagai seorang patriot bangsa, tentu saja sebutan ini hanya berlaku bagi rakyat Tiongkok. Pemerintah menyebutnya pemberontak! Pada suatu hari, karena pengacauan puteri Hui bernama Balita, seorang di antara musuh-musuh Cia Sun, suami isteri Cia itu mengalami malapetaka. Isteri Cia Sun cemburu dan membunuh diri, disusul pembunuhan diri Cia Sun yang amat mencinta isterinya."

Pangeran Yong Tee mendengarkan dengan hati berdebar dan amat tertarik karena apakah hubungannya dengan Hoa-ji dengan keluarga Cia? Tidak hanya pangeran ini yang amat tertarik dan terkejut heran, juga Tilana yang diam-diam mendengarkan cerita itu, menjadi berubah air mukanya dan jantungnya berdebar keras. Bukankah gadis berkedok itu sedang menceritakan tentang ayah bundanya dan kakaknya serta dia sendiri?

"Pada malam terjadinya peristiwa hebat itu, terjadi lain peristiwa yang kemudian merupakan rahasia kehidupan tiga orang gadis. Pada malam hari yang malang itu, secara diam-diam muncul seorang wanita kang-ouw bernama Ang-jiu Toanio yang juga memusuhi Cia Sun. Ang-jiu Toanio yang kebetulan mempunyai seorang bayi perempuan, lalu menukarkan bayinya dengan bayi keluarga Cia, yaitu Cia Bi Eng itu. Belum lama seperginya Ang-jiu Toanio, muncul pula Balita puteri Hui itu membawa bayinya dan menukarkan bayinya sendiri dengan bayi yang disangkanya puteri keluarga Cia, padahal adalah anak Ang-jiu Toanio."

Kalau saja Hoa-ji tidak demikian terharu dan Pangeran Yong Tee tidak demikian tertarik dan tegang oleh cerita ini, tentu mereka akan mendengar jerit tertahan dari balik semak-semak, di mana Tilana hampir pingsan mendengar cerita itu.

"Bayi keluarga Cia yang aseli, yaitu Cia Bi Eng tulen, dibawa Ang-jiu Toanio. Akan tetapi di tengah jalan bayi ini dirampas oleh seorang pemelihara macan berbangsa Mongol bernama Kalisang dan di lain waktu dari tangan Kalisang dirampas pula oleh Hoa Hoa Cinjin. Kau tentu dapat menduga, pangeran, bahwa bocah itu, Cia Bi Eng yang tulen....., setelah dipelihara oleh Hoa Hoa Cinjin mendapatkan nama Hoa-ji..... atau aku sendiri.”

Hoa-ji terisak-isak kembali dan Pangeran Yong Tee duduk bagaikan patung batu, tak dapat bergerak, tak mampu mengeluarkan kata-kata saking heran dan kagetnya. Yang lebih hebat akibatnya ketika menerima berita ini adalah Tilana dalam tempat persembunyiannya. Gadis ini menangis dan jatuh di atas rumput. Tidak karuan rasa hatinya. Terharu, sedih, bingung, dan girang. la girang karena ternyata bahwa dia bukanlah adik kandung Han Sin! Ini berarti dia dapat menjadi isteri pemuda itu!

Tadi hampir saja ia membunuh Yong Tee karena ia hendak meneruskan perjuangan mendiang ayahnya, hendak membunuh Pangeran Mancu, penjajah bangsanya! Jadi dia sebetulnya anak Ang­jiu Toanio? Pantas saja dahulu Han Sin bilang dia bukan anak Balita. Jadi pemuda itu sudah tahu bahwa dia anak Ang-jiu Toanio? Dia sudah tahu siapa Ang-jiu Toanio. Sudah mendengar pula tentang putera Ang-jiu Toanio yang bernama Phang Yan Bu. Jadi pemuda itu kakaknya?

"Demikianlah, pangeran. Yang sekarang selalu dianggap adik Sin-ko, yang bernama Cia Bi Eng itu, sebetulnya adalah Tilana puteri Balita, sedangkan puteri Balita yang bernama Tilana itu sebetulnya adalah puteri Ang-jiu Toanio. Aku sudah berjumpa dengan Sin-ko kakak kandungku, sudah mendengar bahwa kau menyuruh dia menyelamatkanku, membawaku ke sini.... akan tetapi,......, mendiang ayahku dianggap pemberontak, dan kau.... kau Pangeran Mancu..... bukankah kita berhadapan sebagai musuh besar ......?"

Yong Tee tersenyum, lalu memeluk pundak gadis berkedok itu. "Hoa-ji kekasihku. Kau tetap Hoa-ji yang dulu, tak perduli siapa namamu sebetulnya, tidak perduli anak siapa kau dan bangsa apa. Aku tetap mencintaimu, dan hanya kau seorang, Hoa-ji."

Hoa-ji melepaskan pelukan pangeran itu. Tiba-tiba ia berdiri tegak dan berkata, "Pangeran Yong Tee, hubungan kita sudah lama. Aku percaya penuh akan perasaan hatimu. Hanya satu yang meragukan hatiku. Kau selalu mengaku cinta, padahal belum pernah melihat wajahku. Bagaimana mungkin seorang mencinta tanpa melihat wajah? Aku takut kalau sekali kau melihat wajahku, cintamu akan terbang lenyap ......”

Yong Tee menjawab dengan suara sungguh-sungguh, "Justeru karena tidak pernah melihat wajahmu, aku yakin bahwa cintaku murni, Hoa-ji. Banyak macam cinta kasih di dunia ini, Hoa-ji. Cinta kasih berdasarkan keindahan bentuk dan rupa, cinta kasih berdasarkan budi, cinta kasih berdasarkan pamrih, dan cinta kasih berdasarkan nafsu berahi. Semua ini adalah cinta kasih yang dijadikan kedok nafsu. Cintaku terhadapmu tidak seperti itu, melainkan cinta yang digerakkan oleh sesuatu yang gaib, tidak memandang rupa, seperti cinta kasih ibu terhadap anaknya. Hoa-ji, apapun juga terjadi di dunia ini, cintaku terhadapmu tak akan berubah. Agaknya memang sudah menjadi Hukum Karma, maka kau jangan ragu-ragu lagi, dewiku ......"

Kembali Hoa-ji terisak karena amat terharu hatinya. Tangan kirinya bergerak dan sekaligus merenggutkan kedoknya, terlepas dari mukanya. Mereka berpandangan dan Yong Tee menjadi bengong menyaksikan wajah ditimpa cahaya bulan itu, wajah yang seakan-akan sudah dikenalnya amat lama, yang sering kali ia jumpai dalam alam mimpi. Benar aneh, mengapa wajah di balik kedok itu demikian cocok dengan kiraan dan dugaannya?

"Hoa-ji ....."

"Pangeran ....."

Dari tempat persembunyiannya, Tilana juga menjadi bengong. Ia melihat persamaan yang tak dapat dibantah lagi antara wajah Hoa-ji dengan wajah Han Sin. Tidak bisa salah lagi, memang Hoa-ji adalah adik kandung Han Sin. Dan dia bukan apa-apanya ataukah betul! Dia isterinya! Dia berhak menjadi isteri Han Sin! Tak kuasa Tilana menyaksikan pertemuan antara sepasang merpati yang amat asyik dan mesra itu. Dan diam-diam ia lalu meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi ketika Tilana berlari keluar dari lingkungan istana Pangeran Yong Tee, tiba-tiba tiga bayangan orang yang amat cepat gerakannya berkelebat dan tahu-tahu tiga orang muda yang bukan lain adalah Phang Yan Bu, Li Hoa dan Li Goat sudah berdiri di depannya dengan pandang mata penuh selidik?

"Kau lagi yang datang di sini! Apa maksudmu memasuki lingkungan istana Pangeran Yong Tee? Bukankah kau bernama Tilana puteri Balita yang disebut Jin-cam-khoa?"

Tilana menatap wajah Yan Bu di bawah sinar bulan purnama. Ada sesuatu yang menarik hatinya. Agaknya karena ia tahu bahwa pemuda ini kakaknya, maka timbul simpati besar sekali.

"Kau ..... kau bernama Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio ....?" tanyanya gagap.

"Betul sekali," jawab Yan Bu heran. "Eh, di mana adanya Bi Eng? Dulu kau yang membawanya pergi. Tentu kau tidak bermaksud baik!" tegur Li Goat yang tidak percaya kepada gadis berpakaian aneh, berwajah cantik bukan main tapi agak pucat itu.

Tilana menundukkan mukanya sebentar. "Dia.... dia sudah kembali kepada ibu kandungnya....." jawabnya tidak jelas. Jawabannya tentu saja merupakan teka teki bagi tiga orang itu, apa lagi bagi Li Hoa yang amat mengkhawatirkan keselamatan Bi Eng dan terutama Han Sin.

"Di mana Cia Han Sin? Kau tentu tahu di mana adanya pemuda itu," tanya Li Hoa.

Tilana tiba-tiba mengangkat mukanya dan matanya yang indah tajam itu menyambar ke wajah Li Hoa.

"Mau apa kau tanya-tanya tentang Cia Han Sin? Dia itu apamu?"

Merah muka Li Hoa. Gugup juga ia ditegur begini. "Bu.... bukan apa-apa, hanya.... hanya sahabat. Di mana dia? Lekas katakan kalau memang kau tidak bermaksud buruk."

Akan tetapi Tilana sudah membuang muka tidak mau melayani Li Hoa, sebaliknya ia kembali memandang Yan Bu.

"Kau ..... adakah kau mempunyai seorang adik perempuan?"

Yan Bu berdebar jantungnya. "Betul, bagaimana kau bisa tahu?"

"Ibu ...... eh ...... ibumu sudah meninggal?"

Kembali Yan Bu mengangguk. "Apa maksudmu bertanya tentang semua ini?"

"Dia bukan orang baik-baik!" tegur Li Goat penuh curiga dan cemburu.

"Kau ..... kau kakak kandungku ......!" Tilana berkata sambil menahan isak, akan tetapi tubuhnya berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

"Eh, tunggu .....!" Yan Bu berseru kaget, hendak mengejar. Akan tetapi tangan Li Goat menyentuh lengannya, membuat pemuda itu menengok dan terpaksa menunda niatnya. Pandang mata Li Goat begitu aneh, seperti orang marah.

Akan tetapi tak lama kemudian kedua orang muda ini baru melihat bahwa Li Hoa tidak berada di samping mereka.

"Lho, mana cici Li Hoa?" teriak Li Goat kaget.

"Agaknya mengejar dia ......“ jawab Yan Bu.

Mereka berdua mencoba untuk menyusul, akan tetapi karena tidak tahu ke mana arah yang ditempuh dua orang gadis itu, mereka tidak berhasil mengejar dan terpaksa kembali ke istana di mana mereka tinggal menjadi tamu Pangeran Yong Tee.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment